Pengaruh Pubertas pada Perkembangan Anak
Perkembangan hormon yang begitu pesat pada anak yang mulai memasuki masa puber tidak hanya menyebabkan perkembangan fisiknya saja, tetapi juga memengaruhi psikologinya. Menurut psikolog dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani (Nina), dari sudut psikologi perkembangan, ada beberapa hal yang terjadi dan berpengaruh pada anak pada masa prapubertas hingga pubertas. Yakni, fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan sosial. Fisik, kata Nina, dalam masa pubertas memang paling menonjol, karena terjadi perubahan bentuk. “Bukan hanya tubuh, otaknya pun berkembang pesat sekali di fase remaja, sehingga kemampuan kognitifnya pun berkembang. Jika sebelumnya pemelajarannya sangat konkret, memasuki masa pubertas sudah lebih abstrak. Artinya,
tanpa melihat bendanya, dia sudah bisa membayangkan dan menganalisis,” kata Nina.
Karena perkembangan otak juga, kemampuan bahasanya juga berkembang, dia lebih bisa memahami konteks berbahasa. Jadi, misal, dia sudah lebih bisa diharapkan untuk membedakan gaya berbicara dengan orang yang lebih tua dan dengan teman-teman sebaya. Perkembangan emosional anak di masa-masa ini juga sangat terpengaruh oleh hormon. Anak akan mengalami mood swing. Siangnya girang, bisa saja pada sore hari tiba-tiba menjadi murung, karena ada sesuatu yang tidak disukainya. Dia merasa dirinya unik, berbeda dari orang lain, dan tidak akan ada orang yang bisa memahami keunikannya. Karena secara emosional sedang berkembang, dia kemudian lebih banyak mengamati dirinya. Perubahan-perubahan tubuhnya yang relatif mendadak membingungkannya. Pada saat beramaan, dia pun berusaha memahami emosinya sendiri.
Hal tersebut berpengaruh terhadap perkembangannya secara sosial, yang mana paling kentara adalah kebutuhan yang jauh lebih besar kepada teman. Anak yang tadinya nempel terus pada mama, sekarang maunya berbagi segala rahasia kepada teman saja. “Jadi yang berpengaruh bukan lagi orang tuanya, tetapi temannya. Dan, secara kognitif, kemampuannya membuat perbandingan juga meningkat. Dia merasa membutuhkan orang-orang yang mempunyai pengalaman dan merasakan hal yang sama dengan dirinya. Dia juga membutuhkan dukungan dan persetujuan dari teman seusianya. Itu membuat dia merasa jauh lebih tertarik kepada teman daripada orang tua. Di usia ini sangat kental urusan gaul, peer group. Anak akan berusaha menemukan orang-orang yang ‘aku banget’,” kata Nina.
Kebutuhan untuk eksis di usia ini pun menjadi tinggi. “Dia maunya sesuatu itu (dipilih, dilakukan) karena alasan ‘aku suka’ atau ‘aku yang atur’. Sebenarnya dia tidak tahu maunya apa, tetapi tidak akan suka kalau itu tidak sesuai dengan yang dia mau,” kata Nina. Anak-anak di usia ini juga rentan menghadapi masalah dengan teman-temannya. Pada fase prapuber, ketertarikan kepada teman masih bisa dikatakan netral. Artinya, dia senang berada bersama teman-temannya, mulai ada problem, tapi tidak sampai terlalu terbawa atau ‘baper’ (bawa perasaan, menurut bahasa gaul anak sekarang) kalau ada masalah dengan teman. Tetapi, pada anak yang lebih besar, persoalan dengan teman itu bisa menjadi masalah besar, yang pada hal-hal tertentu menurutnya terasa dahsyat dan membuatnya ingin ditelan bumi. Berbeda dari grup akan menjadi masalah untuknya, tetapi untuk keluar dan masuk ke grup lainnya tidaklah mudah.
Masalah yang dihadapi anak bisa berpengaruh pada prestasi akademisnya. Mogok sekolah, malas-malasan mengerjakan ulangan, tidak konsentrasi saat guru menerangkan pelajaran, yang bisa menyebabkan prestasinya menurun. Tetapi, ada beberapa anak yang malah meningkat prestasinya, sebagai kompensasi rasa tidak nyaman. Misalnya, dia dijauhi teman, lalu dia berpikir, “Ya sudahlah nggak usah gaul, aku belajar, aja.” Menurut Nina, kompensasi, apa pun itu adalah hal buruk. “Walaupun prestasi naik, alasannya adalah kompensasi. Yang harus diwaspadai orang tua adalah alasan di balik itu. Kita mungkin happy nilainya bagus semua, tetapi harus dicermati bagaimana pergaulannya, sebahagia apa dia di sekolah bersama teman-temannya,” kata Nina. (foto: 123rf)