Sudah Puber, Yang Perlu Didiskusikan dengan Anak tentang Seksualitas
Masa pubertas adalah fase krusial di dalam hidup anak. Dalam fase tersebut, mereka mengalami berbagai perubahan fisik dan perkembangan dalam memandang dirinya sendiri.
Orang tua perlu ambil peran dalam mendampingi anak menghadapi berbagai perubahan signifikan di dalam kehidupannya. Salah satu hal yang esensial untuk dilakukan orang tua adalah dengan memberikan edukasi seks yang sesuai dengan perkembangan anak.
Materi Pendidikan Seks Harus Berkembang
“Oh, saya dan pasangan sudah sering memberikan pendidikan seks ke anak, sejak usia balita.” Mungkin itu pernyataan Anda.
Bila Anda termasuk orang tua yang sudah melakukannya, maka Anda patut bersyukur. Di tengah masyarakat yang masih menganggap bahwa seksualitas adalah hal yang tabu untuk dibicarakan, Anda telah memberikan bekal yang sangat penting untuk anak.
Tetapi, materi pendidikan seks yang disampaikan oleh orang tua perlu ada pembaruan dan lebih komprehensif. Menginjak pubertas, tentunya, muatan pendidikan seks ini tidak bisa disamakan lagi dengan topik yang Anda sampaikan saat anak masih balita hingga usia sekolah dasar awal. Di usia tersebut, anak-anak mendapat pendidikan seks berupa pengenalan seluruh anggota tubuh termasuk organ genital dan fungsinya, apa yang disebut area privat, juga mengenal sentuhan aman atau tidak aman.
Sementara, di usia puber, materi edukasi seks tersebut harus lebih bisa menyentuh aspek-aspek perkembangan psikoseksual anak. Zoya Amirin, M.Psi., FIAS., sexual psychologist sekaligus seksolog klinis berpendapat bahwa anak harus diedukasi mengenai kesehatan reproduksi, aktivitas seksual, perasaan terangsang yang memang alamiah muncul, serta mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Lantas, apa saja yang perlu ada di dalam bahan diskusi mengenai seks sebagai edukasi untuk anak begitu ia memasuki usia pubertas?
- Tentang Puber itu Sendiri
- Untuk Anak Perempuan
- Untuk Anak Laki-laki
- Tentang Terangsang
Orang tua bisa menjelaskan: “Terangsang itu seperti kamu naik halilintar di taman ria. Pas mau turun, semua kayaknya gremet di kepala. Itu normal.”
Nah, untuk mengatasi rangsangan ini, Zoya menyarankan orang tua untuk menyampaikan, “Kamu bisa cari tempat aman atau berdiam diri di kamar. Tarik napas dan hitung sampai 10 kali.”
Zoya memahami bahwa hal ini mungkin canggung untuk dibicarakan. Akan tetapi, pemahaman tentang terangsang secara seksual sebagai seusatu yang alamiah ini justru bisa menghindarkan anak dari potensi mengakses tayangan pornografi yang sering kali banyak mengandung distorsi atau melebih-lebihkan dan tidak sesuai dengan kehidupan seks yang sesungguhnya. Bahkan, juga bisa melindungi anak dari melakukan pelecehan seksual.
- Tentang Masturbasi
“Kalau sudah SMP, ajarkan dia bertanggung jawab sendiri. Anak laki-laki diajari untuk mencuci tangannya sebelum dan sesudah memegang penisnya. Ajarkan mengganti seprai atau cuci sendiri kalau sudah bisa. Kalau dia mau bawa ke laundry juga tidak apa, itu bentuk tanggung jawab dia sendiri,” ujar Zoya.
Yang penting dari mendiskusikan perihal mengatasi rangsangan seksual ini dengan anak adalah mereka akan merasa bahwa seks itu normal. “Kalau mereka sembunyi-sembunyi karena khawatir dianggap melakukan hal kotor, mereka lebih mungkin melakukan pelecehan,” ujar Zoya.
- Prinsip Abstinence
Untuk anak-anak yang berpikiran kritis, konsep ini bisa jadi dinilai abstrak. Untuk itu, orang tua juga bisa menjelaskan bahwa anak-anak akan merasakan kesulitan atau merasa sendirian ketika hamil atau menghamili di luar pernikahan, ketika teman-teman sebayanya masih bisa mengaktualisasikan diri atau masih bisa main.
- Mencegah Kejahatan Seksual
Zoya sendiri mengakui bahwa memang berat untuk mendiskusikan ini dengan anak praremaja. Akan tetapi, menginjak pubertas, edukasi-edukasi ini harus disampaikan, agar anak tidak mencari tahu atau belajar dari sumber lain yang belum tentu benar atau sesuai dengan nilai keluarga.
Untuk membicarakan ini, Anda bisa mengambil momen seperti menstruasi atau mimpi basah pertama anak. Anda juga bisa masuk menjelaskan ketika sedang menonton berita tentang kekerasan seksual. Bahkan, Anda juga bisa menggunakan data untuk menjelaskan kepada anak. Perlu diingat bahwa diskusi bukan menggurui. Artinya, Anda perlu mendengarkan pendapat anak juga.
Lela Latifa
Foto: Shutterstock