8 Masalah yang Bikin Anak Sulit Beradaptasi dari TK ke SD
Masalah #4
Bosan pada Satu Pelajaran
“Menulis terus dan terus?” Farhan tidak terlihat senang ketika mengerjakan lembar kerja dalam pelajaran Bahasa Indonesia. “Kok, dari tadi kita menulis,” keluhnya.
Sekolah di TK memang berarti bermain, bernyanyi, menggunting, dan menempel. Di kelas 1 SD, ia lebih banyak mendapat tugas yang menuntutnya menulis. Kurikulum SD lebih menekankan kemampuan dasar belajar, seperti membaca, menulis, dan berhitung, dibandingkan TK. Beberapa anak mungkin sudah bisa membaca dan menulis ketika masuk SD, sementara sewajarnya anak baru bisa membaca dan menulis di usia 7 tahun.
Umumnya, anak usia 6 - 7 tahun bisa mempertahankan perhatian dan konsentrasinya pada satu kegiatan, termasuk menulis, selama 10 - 15 menit. Lebih dari itu, perhatiannya bisa teralih pada hal lain. Brahm (6) memilih cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, sehingga sering kali ada huruf yang hilang dari tulisannya, atau besar kecil ukuran tulisannya tak selalu sama.
Brahm berpikir, bila cepat menyelesaikan tugas, ia bisa segera bermain, mengobrol, atau jalan-jalan di kelas. Pelangi (6) perlu ditemani guru agar tugas-tugas tertulisnya bisa diselesaikan sebelum ia mengalihkan perhatiannya pada teman atau hal lain yang menarik di luar kelas.
Guru-guru yang cukup peka terhadap kemampuan murid kelas 1 memusatkan perhatian mungkin akan mengubah ragam kegiatan setiap 10 - 15 menit untuk membuat si kecil tetap terlibat dan tekun menyelesaikan tugas. Saat anak membaca atau mengerjakan PR di rumah, ada baiknya Anda memecah tugas ke dalam satuan 10 – 15 menit. Biarkan si kecil mengisi jeda waktu dengan bergerak atau melakukan permainan singkat. Minta ia kembali melanjutkan bagian tugasnya selama 10 menit kemudian.
Jika anak belum bisa bertahan selama 10 menit, Anda bisa memulainya dalam rentang waktu 2 menit, lalu ditingkatkan perlahan-lahan hingga mencapai 10 menit. Sebenarnya, ketahanan si kecil menyelesaikan tugas bisa dibangun dengan mengajaknya berkomitmen untuk tidak meninggalkan tugasnya selama 10 menit, dan mengambil jeda selama beberapa saat.
Masalah #5
Kenapa Membaca Terus?
“Aku tidak mau baca terus. Capek!” Anda heran ketika si kecil berkata demikian. Padahal, setahu Anda si kecil sudah bisa membaca dengan lancar.
Kemampuan membaca anak berkembang mulai dari mengenal dan merangkai bunyi huruf, membaca kata, lalu membaca kalimat. Ia mulai bisa melafalkan dengan lancar, lalu kemampuannya memahami bacaan secara bertahap mulai berkembang. Jika anak sudah bisa membaca dengan lancar, belum tentu ia memahami isi teks yang dibacanya, ya.
Jika Anda mempertahankan rutinitas membacakan buku bagi si kecil, ia akan mendapat banyak manfaat. Sukorini, mama Pelangi, bercerita, “Saya tetap bacakan buku, karena saya tahu Pelangi akan mendengarkan intonasi saya saat membaca. Ia pun mulai meniru.”
Ajak pula anak bercakap-cakap tentang isi buku yang dibaca. Gunakan kata tanya, berupa “apa”, siapa”, “mengapa”, “bagaimana”, “kapan”, serta “di mana”. Beri kesempatan padanya untuk bertanya pada Anda. Tanya jawab ini merupakan latihan pemahaman bacaan baginya. Di kelas nanti, ia tak asing lagi bila diminta guru menjawab pertanyaan sesuai bacaan.
Bacaan favorit anak bisa pula digunakan untuk membantunya lebih lancar membaca atau menulis kata-kata yang sering ditemui. Cerita baru memang seru, tetapi buku yang sudah akrab membuat pengalaman baru rtidak terlalu menakutkan.
Masalah #6
Penilaian Tugas Sekolah
“Apa bedanya nilai 9 dan 6 di kertasku?” Di SD, guru sudah mulai memberi nilai di kertas kerja anak. Biasanya, perlu waktu bagi anak untuk menyadari bahwa nilai yang diberikan guru berkorelasi dengan hasil kerjanya.
Beberapa anak tak terlalu memperhatikan apakah nilainya 6 atau 9. Apa, sih, bedanya? Daripada memaksa atau menuntutnya selalu dapat nilai 8, 9, bahkan 10, apalagi membandingkannya dengan teman, ajaklah ia duduk bersama dan membahas lagi hasil kerjanya. Tunjukkan mengapa guru mencoret atau memberi catatan di pekerjaannya.
Anda bisa mengajak anak untuk selalu memperbaiki kesalahan di hasil kerjanya, sehingga ia memahami bahwa kita bisa belajar dari kesalahan dengan memperbaikinya. Kegiatan sederhana ini akan membuatnya lebih nyaman, merasa yakin dengan kemampuannya, bisa memperbaiki kesalahan, serta tidak berorientasi pada hasil melainkan proses.