Papa Ini Ajak Anaknya Trekking di Nepal
Menikmati Pokhara
Keesokan paginya, kami melanjutkan trekking hari ketiga, turun ke bawah menuju Pokhara, kota terbesar kedua di Nepal setelah Kathmandu. Tidak seperti trekking hari pertama dan kedua yang membuat Naya kadang merasa letih, trekking hari terakhir ini, ia tampak bersemangat. Sering ia berjalan jauh di depan kami, berdua dengan Harka. Adapun saya dan istri yang sudah merasa letih karena kaki yang pegal-pegal dan beban bawaan yang lumayan berat, hanya dapat berjalan pelan dan tertatih-tatih menuruni rute trekking yang kadang agak curam. Beberapa kali juga Naya dan Harka istirahat duduk sambil mengobrol berdua, sembari menunggui saya dan istri. Sepertinya ia merasa bahwa kami berdua berjalan terlalu lambat hari itu, hahaha...
Setelah 2,5 jam perjalanan, kami tiba di tepi Phewa Lake dan menyewa perahu untuk melihat-lihat pemandangan sekitar danau. Siang itu, ada banyak paralayang beterbangan di angkasa. Sarangkot yang terletak di puncak bukit memang terkenal sebagai spot aktivitas paralayang buat turis karena menawarkan pemandangan yang menakjubkan, puncak-puncak pegunungan Himalaya. Usai menyewa perahu, kami makan siang di sebuah restoran. Tidak seperti Kathmandu yang berdebu dan penuh sesak oleh orang-orang dengan segala macam aktivitasnya, suasana Pokhara jauh lebih nyaman dan menenteramkan hati. Setelah makan siang, Harka mengantarkan kami ke penginapan dan ia pun pamit. Tugasnya sebagai tour guide sudah selesai hari itu. Kami pun berpisah dengannya. Rencananya kami akan menginap semalam di Pokhara sebelum esok pagi kembali ke Kathmandu.
Di Pokhara, kami mengisi waktu berjalan-jalan membeli oleh-oleh untuk teman dan kerabat di Indonesia. Salah satu oleh-oleh khas Nepal adalah pashmina. Dan ternyata, pashmina memiliki banyak jenis. Kami pun sibuk memilih-milih berbagai macam pashmina dan membeli beberapa. Di depan guest house tempat kami menginap terdapat sebuah toko musik. Saat di Kathmandu, Naya sempat membeli sarangi, alat musik tradisional Nepal yang dimainkan dengan cara digesek seperti biola. Selama trekking, Naya membawa sarangi tersebut dan memainkannya. Namun ketika tiba di Pokhara, salah satu senarnya mengendur sehingga perlu disetel ulang agar nadanya benar. Kami pun mampir ke toko musik tersebut dan menanyakan apakah sarangi Naya bisa dibetulkan. Setelah selesai dibetulkan, pemilik toko yang juga pemain sarangi mengajarkan Naya cara memainkan Resham Firiri, sebuah lagu tradisional Nepal yang terkenal. Mereka berdua langsung asyik bermain sarangi.
Setelah menginap semalam, paginya kami menuju Pokhara Airport untuk kembali ke Kathmandu dengan pesawat. Pesawat yang kami naiki merupakan pesawat kecil dengan baling-baling dan hanya berisi kurang lebih 20 penumpang. Yang menakjubkan dari bepergian dengan pesawat di Nepal adalah kita bisa menyaksikan deretan pegunungan Himalaya sepanjang perjalanan. Pemandangan gunung-gunung yang semuanya tertutup salju dengan hamparan awan di bagian bawah terus bisa kita saksikan lewat jendela pesawat. Kami bertiga tidak pernah melepaskan pandangan dari jendela pesawat selama penerbangan hingga akhirnya mendarat di Bandara Internasional Tribhuvan.