Talasemia, Kelainan Darah Yang Belum Bisa Disembuhkan
Hari Talasemia Sedunia diperingati setiap tanggal 8 Mei. Di Indonesia, penyakit yang tidak dapat diobati ini jumahnya semakin meningkat.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memeringati hari Talasemia sedunia pada 10 Mei lalu dengan tema Sadari, Berbagi, Peduli dan Kolaborasi.
“Talasemia adalah kelainan darah yang disebabkan faktor genetik. Kelainan darah dalam bentuk usia sel darah merah yang pendek, sehingga penyandangnya harus menjalani transfusi darah. Di seluruh dunia sebanyak 80% orang membawa sifat, sebanyak 23.000 setiap tahun bayi lahir dengan talasemia mayor,” demikian paparan dr. Elvieda Sariwati berjudul Upaya Indonesia Menuju Zero Kelahiran Talasemia Mayor.
Indonesia menyumbang 5 - 7% (14 juta jiwa) pembawa sifat, atau memiliki talasemia minor. Pada 2021 jumlahnya mencapai 10.973 kasus, dengan jumlah tertinggi di Jawa Barat.
Menurut dr. Elvie, talasemia sebetulnya dapat dicegah, yaitu dengan melakukan carrier testing di usia remaja. Yaitu dengan melakukan tes pada sel darah tepi untuk melihat bentuk sel darah merah. Pada penyandang talasemia, ukuran sel darah merah lebih kecil dan berwarna pucat dibanding sel darah merah normal. “Di Cyprus talasemia jumlahnya bisa ditekan dengan mencegah pernikahan antar pembawa sifat,” jelas dr. Elvieda.
Baca juga: Lakukan 3 Kebiasaan Sehat Ini untuk Melindungi Keluarga dari Berbagai Penyakit
Kenali dampak talasemia
Menurut data RISKESDAS 2013, prevalensi anemia tertinggi berada pada rentang usia 12 bulan hingga 24 tahun. Yang terbanyak adalah anemia mikrositik hipokromik, yaitu defisiensi zat besi sebesar 32%. Anemia jenis ini paling banyak karena:
1. Kurang zat besi. Gejalanya lesu, lelah, letih dan lemah. Sariawan di sudut bibir, bentuk kuku seperti sendok, lidah halus licin tidak ada pencecap sehingga anak-anak dengan defiensi zat besi yang berat ingin memakan es batu, atau sesuatu yang bukan makanan seperti pasir, rambut, batu (Pica).
Tatalaksana untuk anemia kurang besi adalah pemberian nutrisi terutama yang mengandung zat besi seperti produk hewani (daging, hati). Sayuran juga mengandung zat besi tetapi sulit diserap. Penderita anemia zat besi tidak mengonsumsi teh, kopi, gandum, dan susu terlalu banyak karena menghalangi penyerapan zat besi.
Pengobatan: Suplementasi untuk kasus yang tidak berat.
2. Sakit talasemia. Yaitu kelainan sel darah merah akibat faktor genetis atau keturunan. “Di dalam sel darah merah itu terdapat rantai alfa, rantai beta. Pada talasemia, rantai alfa atau rantai beta, bahkan keduanya tidak terbentuk sama sekali atau berkurang, sehingga membentuk haemoglobin yang tidak baik. Akibatnya sel darah merah mudah pecah,” jelas Prof. Dr. dr. Pustika Amelia Wahidayat.
Di Indonesia, pada tahun 2020 terdapat 2.500 pasien talasemia mayor. Palembang, Makassar dan Sumba adalah wilayah yang memiliki angka tinggi kasus talasemia rantai beta.
Talasemia diperoleh dengan cara diturunkan. Artinya bila ada 1 orang di dalam keluarga yang menderita talasemia mayor (bergejala), kedua orang tua membawa talasemia minor (tidak bergejala). Bila hanya salah satu pembawa sifat, kemungkinan anak bisa normal.
Yang tampak gejalanya adalah talasemia mayor. Yaitu transfusi darah mulai 1 kali seminggu sampai sebulan sekali.
Penderita talasemia intermedia - antara mayor dan minor - butuh transfusi tetapi tidak rutin. Talasemia minor tidak bergejala tetapi minimal dia mengalami anemia dengan ukuran sel darah merah kecil-kecil meski kadar haemoglobin normal. Ini dapat diturunkan kepada anak.
Talasemia alfa, talasemia beta dan talasemia alfa beta ditandai dengan pucat kronik, kadar HB sangat rendah. Secara fisi dapat dilihat:
- Perut buncit karena hati dan limpa bekerja sangat keras karena tulang tidak dapat membuat sel darah, sehingga minta bantuan organ tubuh lain untuk membuat sel darah merah.
- Perubahan wajah; gigi maju, tidak ada batang hidung, dahi menonjol.
- Warna tubuh menghitam karena sel darah merah mengeluarkan besi, lalu tubuh melakukan kompensasi mengambil besi sebanyak-banyaknya dari usus. Akibatnya warnanya menjadi lebih hitam.
- Tulang memendek.
- Gangguan pubertas; umur 15 tahun belum akil baliq atau belum menstruasi.
- Osteoporosis.
Tatalaksana talasemia
- Tidak boleh diberi zat besi, tetapi transfusi darah. Karena tingginya zat besi, penyandang talasemia harus mengonsumsi obat kelasi besi untuk mengeluarkan zat besi seumur hidupnya.
- Tidak boleh mengonsumsi vitamin C karena membantu penyerapan zat besi ke dalam tubuh.
- Harus lebih banyak mengonsumsi gandum, teh dan susu karena mengandung zat yang menghalangi masuknya zat besi.
- Tidak ada obatnya, sehingga masih harus transfusi darah untuk mengatasi anemia bila kadar HB 9. Apabila talasemia sudah komplikasi ke hati dan jantung, kadar HB 11 harus dilakukan transfusi darah. Kalau sampai zat besi menempel pada jantung, risikonya adalah gagal jantung. Bila zat besi menempel di tempat-tempat pembuat hormon, tidak terjadi pubertas; tidak tumbuh payudara, tidak menstruasi. Bila zat besi menempel pada pankreas akan berisiko diabetes karena pankreas tidak dapat memroduksi insulin/antigula.
“Masalah psikososial yang dihadapi penyandang talasemia mayor di usia lebih besar adalah akibat bullying. Karena seringnya transfusi darah, mereka dibilang kaya drakula. Mereka minder, nggak mau sekolah. Perubahan fisik membuat mereka merasa inferior. Kapan punya pacar? Masa depan bagaimana? Keluarga merasa punya aib dan malu,” kata Prof. Amelia.
Karena Indonesia merupakan ring 1 (pembawa sifat talasemia tinggi) carrier testing sangat diperlukan untuk mencegah pernikahan sesama pembawa sifat. Selain carrier testing, konseling sebagai upaya pendampingan juga penting diberikan agar penyandang talasemia (minor) dapat mengambil keputusan apakah sebuah relasi akan dilanjutkan atau tidak. Atau apakah mereka dapat menerima konsekuensinya apabila hubungan berlanjut sampai pernikahan.
Baca juga:
Apa Itu Talasemia?
Beda dari Darah Rendah, Ini Cara Atasi Anemia
7 Langkah Cegah Anemia Defisiensi Besi pada Anak
Immanuela Rachmani
Foto: Shutterstock
Topic
#usiasekolah #kesehatan #talasemia