Persiapan Anak Homeschooling
Ada beberapa alasan orang tua memilih homeschooling untuk anak, mulai dari anak yang sering di-bully, sibuk syuting, atau orang tua sendiri yang kurang percaya pada system pendidikan yang ada di sekolah umum, dsb. Pada dasarnya, homeschooling dan sekolah umum kurang lebih sama saja. Persamaan keduanya adalah Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan.
Yang termasuk isi dari pendidikan, yakni etika, estetika, iptek, nasionalisme, dan kesehatan atau olahraga. Lalu, standar kompetensi lulusannya juga sama. Kalau anak homeschooling tiba-tiba mau masuk sekolah formal, ya boleh saja. Tinggal dites apakah Standar Kompetensi Lulusannya sesuai atau tidak.
Nah, yang berbeda adalah Standar Prosesnya. Misalnya, sekolah formal masuk jam 7 dan pulang jam sekian. Ada aturan yang harus dipatuhi. Homeschooling tidak begitu. Lebih fleksibel. Selain itu, Standar Sarana Prasana dan Standar Pendidik. Misalnya, gedung sekolah luasnya harus sekian, jumlah bangku sekian, ukuran bangku sekian, dll. Nah, homeschooling bisa belajar di tempat tidur, alam bebas, pasar, dll.
Selain itu, guru di sekolah formal harus S1, misalnya. Bagaimana dengan guru homeschooling? Boleh lulusan S1, S2, atau bahkan mahasiswa yang menguasai bidangnya. Yang penting, Standar Kompetensi Lulusan tercapai.
Apa lagi? Standar Biaya. Sekolah di rumah pasti murah meriah, sebab tidak ada seragam, uang sekolah, uang gedung, uang transportasi, dll. Terakhir adalah Standar Evaluasi. Anak-anak homeschooling juga harus mengikuti ujian nasional, yang disebut ujian kesetaraan di atas.
Sebetulnya, tidak perlu membandingkan manakah yang lebih hebat antara homeschooling atau sekolah formal. Sebab, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang terpenting adalah, memilih sekolah itu harus melibatkan anak.
Jika sekolah pilihannya benar-benar menyenangkan, ini berarti sekolah tersebut pas untuknya. Salah satu cara mengetahuinya adalah dengan bertanya langsung pada anak sepulang sekolah, “Senangkah kamu di sekolah?” Itu saja! Jangan langsung membombadirnya dengan pertanyaan, “Tadi kamu dapat nilai berapa?” atau “Masuk ranking berapa?”
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah bahwa sekolah untuk anak, bukan anak untuk sekolah. Ironisnya, yang terjadi pada saat ini adalah anak untuk sekolah. Misalnya, sekolah A bagus, sehingga mau tidak mau anak harus bersekolah di sana.
Belum lagi, kurikulumnya dibikin rumit dan padat. Lalu, guru juga untuk anak dan bukan anak untuk guru. Carilah sekolah yang pengajarnya bisa tersenyum. Guru memang harus sayang dan juga mencintai anak. Nah, dalam menghadapi anak, para guru juga harus ceria dan penuh persahabatan.