Menghindarkan Anak dari Kejahatan Pedofilia Online
Kasus kejahatan seksual terhadap anak bukan hal baru. Belakangan ini, kasus yang terungkap oleh kepolisian dan meresahkan masyarakat, yaitu grup Facebook Loly Candy’s, yang memuat konten pornografi anak di bawah umur. Grup yang dibuat pada September 2016 itu mengharuskan anggotanya aktif upload konten pelecehan seksual yang ia lakukan kepada anak di bawah umur. Parahnya, menurut data dari kepolisian, jumlah anggota grup komunitas pedofilia itu sebanyak 7.479. Meski polisi telah menangkap administrator grup Loly Candy’s dan menetapkan statusnya menjadi tersangka, bukan berarti tindak kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur berhenti sampai di situ. Apalagi ditemukan hubungan antara grup Loly Candy’s dengan jaringan pedofilia internasional.
Sebagai orang tua, tentu kita merasa ngeri dengan kejadian ini. Namun, setidaknya hal itu menjadi pengingat bagi kita untuk meningkatkan kewaspadaan dalam menjaga anak-anak, terutama jika mereka cukup aktif beraktivitas di media sosial. Sebagai orang tua, Anda wajib mengetahui siapa saja teman anak Anda di media sosialnya, yang ia ajak berkomunikasi di kolom komentar atau chat, serta apa yang ia bahas di percakapan itu. Bahkan, jika perlu, Anda juga mengetahui bahasa apa yang ia gunakan.
Baik Anda maupun anak pun harus sama-sama memerhatikan berbagai aturan sebelum upload foto di media sosial, seperti yang bisa dibaca di sini. Ada 7 foto anak yang haram di-upload ke media sosial, yang bisa Anda baca di sini. Antara lain, jangan pernah upload foto anak yang berbaju minim, dalam keadaan telanjang, atau sedang tidur dalam posisi yang memperlihatkan bagian-bagian intim tubuh anak.
Namun, Anda tak hanya perlu mewaspadai media sosial, Ma. Karena pelaku pedofilia bisa ada di mana saja, bahkan bukan tak mungkin, mereka adalah orang-orang terdekat, yang ada di lingkungan sekitar Anda sekeluarga, yang selama ini bahkan berperilaku sopan. Untuk itu, Anda bisa coba menerapkan beberapa hal di bawah ini, untuk membantu menghindarkan anak dari pelaku pedofilia.
1. Beri tahu anak untuk tidak sembarangan menerima ajakan pergi atau makanan, minuman dan mainan dari orang dewasa yang tidak ia kenal, saat berada di tempat umum. Kalaupun mau pergi dengan orang-orang dewasa yang telah ia kenal, atau menerima sesuatu dari mereka, pastikan anak memberi tahu Anda terlebih dahulu, atau meminta izin. Pelecehan seksual terjadi ketika anak berada sendirian dengan pelaku pedofilia. Kejadiannya bisa di dalam mobil, ruang kelas yang kosong, bioskop yang gelap, atau di sudut tempat-tempat umum yang sepi.
2. Pastikan di tempat penitipan atau sekolah anak memiliki kebijakan yang menyebutkan anak dilarang berkomunikasi secara pribadi dengan orang dewasa yang tidak dikenal.
3. Ajarkan anak menyebut organ seksualnya dengan istilah yang sebenarnya, yaitu penis, vagina, testis, anus, payudara, puting, bokong, dsb. Selain itu, tanamkan rasa malu pada anak sejak dini, agar ia tahu bahwa alat kelamin adalah area pribadinya, dan tidak boleh disentuh oleh siapa pun, bahkan oleh dokter sekali pun, tanpa didampingi oleh mama dan papanya.
4. Anak dari keluarga bermasalah biasanya lebih rentan terpedaya oleh pelaku pedofilia. Oleh sebab itu, jika keluarga Anda memang sedang menghadapi suatu masalah, tetap prioritaskan perhatian kepada anak. Sesibuk apapun Anda, selalu luangkan waktu untuk menjalin komunikasi secara terbuka dengan anak.
5. Anda perlu peka terhadap tanda-tanda yang diperlihatkan oleh anak. Sesekali mungkin saja anak terlepas berbicara tentang pelecehan seksual yang ia alami. Jika demikian, Anda harus proaktif bertanya kepada anak dengan cara yang tidak berlebihan. Anda juga patut curiga jika ada perilaku anak yang berubah, misalnya menjadi lebih murung, pemarah, atau menarik diri dari pergaulan.
6. Ajarkan anak melapor atau memberi tahu Anda, jika ia mengalami pelecehan seksual. Misalnya, jika ada orang asing yang memegang area intim tubuhnya.
7. Jika diketahui anak pernah mengalami pelecehan seksual, bawa ia ke psikolog untuk ditangani lebih lanjut, agar tidak menimbulkan dampak negatif lebih jauh untuk perkembangan mental dan otak anak. (Alika Rukhan)