Hindari Dua Hal Ini Saat Anak Jadi Korban Bully
Ada dua hal yang mungkin dianjurkan orang tua kepada anaknya untuk menghadapi bully, yang keduanya sebaiknya tidak Anda lakukan. Apa efeknya?
1. ‘Mendorong’ anak melakukan kekerasan
“Anak tidak boleh cengeng, harus jadi jagoan, dan berani membalas kekerasan yang dilakukan temannya! Kalau dipukul, ya balas pukul, dong! Yang penting bukan dia yang memulainya.”
Jika Anda punya pendirian seperti itu, hati-hati. Ini artinya Anda sedang ‘mendorong’ anak melakukan kekerasan dan bersikap agresif. Psikolog Anna Surti Ariani (Nina) tidak setuju anak kecil diajari memukul balik, membalas, dan melawan temannya.
“Kemampuan anak kecil untuk membuat pertimbangan belum matang. Anak diajari tidak boleh memukul, tapi boleh memukul balik, itu membutuhkan kemampuan berpikir dan kalkulasi.
Lebih baik ajari 1 respons sederhana dan mudah dia ingat, sehingga dia tidak perlu berpikir panjang. Misal, kalau ada yang memukulnya, lapor guru atau lari saja. Ajarkan cara melapor. Intinya adalah mengamankan dirinya, karena konsep pertahanan diri untuk anak kecil bukanlah menyerang, tetapi bagaimana ia selamat,” kata Nina.
2. Mengajari anak menjadi submisif
Ini kebalikan agresif. Mengajarkan anak diam saja, tidak perlu ngomong ke siapa pun saat di-bully, akan membuatnya memiliki respons submisif. Respons yang baik seharusnya asertif. Jika ini masih sulit diajarkan kepada anak, paling tidak ajari anak untk melapor kepada guru (jika terjadi di sekolah) atau orang tua.
Semakin besar, ajari anak berani bicara langsung kepada temannya bahwa ia tidak suka dipukul atau diejek. “Itu cara yang lebih ‘gagah’, sangat membutuhkan regulasi emosi, tidak tiba-tiba balas memukul. Anak menghargai diri sendiri dan orang lain dengan tidak memukul balik, dan ia berani bicara,” kata Nina.
(Grc)
Baca juga: Mengapa Anak Tega Melakukan Bullying?
Foto. 123rf