Bijak Memuji Anak
Memberikan pujian bagi anak adalah hal yang wajar dilakukan. Bahkan, tiap orang tua memang perlu memberikan pujian bagi anak sebagai bentuk apresiasi jika anak berhasil melakukan sesuatu dengan baik. Anak akan merasa bahwa pujian adalah tanda ia diterima, dicintai, dan pada akhirnya ia akan selalu berusaha untuk mendapat pujian lagi. Namun, anak bisa kecewa jika suatu ketika mengetahui bahwa ia tak sehebat yang ia kira. Ini bisa terjadi jika anak terlalu sering menuai pujian untuk hal-hal yang sebenarnya biasa saja dan normal dikuasai anak seusianya.
Misalnya, zaman sekarang sudah lumrah anak batita mulai bermain dengan gadget, tapi cukup banyak orangtua yang memuji-muji anaknya pintar karena pada usia 3 tahun sudah mahir menggunakan komputer tablet. Saat anak mulai sekolah dan tahu bahwa teman-teman seusianya juga mahir menggunakan gadget, ia bisa merasa tak lagi pintar.
Menurut psikolog Roslina Verauli, perasaan kompeten itu muncul dari dalam diri anak, bukan dari pujian. “Orangtua tak perlu memuji jika anak melakukan sesuatu yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya atau normal dilakukan anak seusianya. Kapan sebaiknya memuji? Ketika anak terlihat menonjol dalam melakukan sesuatu dibanding anak-anak seusianya.”
Hindari juga pujian yang memberi label, bahkan label positif sekalipun, seperti “Kakak anak Mama yang pintar. Adik anak Mama yang cantik.” Hal tersebut bisa berdampak kurang baik bagi anak. Kenapa? Karena anak akan selalu berusaha hidup sesuai label tersebut untuk membuat orangtuanya senang, mencintai, dan menerimanya. Pada akhirnya, label tersebut bisa menjadi tekanan bagi anak ketika ia merasa tidak sesuai dengan label yang dilekatkan pada dirinya.
Daripada memberi pujian yang cenderung melabeli, coba berikan pujian yang sifatnya situasional, seperti misalnya: “Wah, ulangan IPA Kakak dapat nilai bagus! Kalau Kakak rajin belajar, pasti sering dapat nilai bagus seperti ini!” atau “Sekarang Adik sudah bisa pilih baju sendiri ya. Adik manis sekali, deh, memakai rok merah itu”.