4 Pilar Utama Pelajaran Keuangan untuk Anak Sejak Dini
Apa yang Anda sarankan kepada anak ketika ia menerima uang? Mayoritas orang tua pasti mengajarkan anaknya untuk menabung uang yang mereka dapatkan, baik itu dari orang tuanya sendiri, keluarga, atau uang hadiah saat memenangkan sesuatu. Ya, menabung sepertinya memang otomatis masuk ke dalam pelajaran keuangan untuk anak sejak mereka masih sangat dini, ya.
Baca juga: Mengapa Literasi Keuangan Penting Dikenalkan pada Anak Sejak Dini?
Akan tetapi, ternyata menabung seharusnya tidak menjadi nomor urut pertama dalam pelajaran keuangan untuk anak, lho. Ligwina Hananto, Lead Financial Trainer di QM Financial mengatakan bahwa ada empat pilar utama keuangan yang perlu diajarkan kepada anak-anak. Menurutnya, empat pilar ini universal. “Saya yakin, konsep ini dipakai di seluruh dunia,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Empat (pilar) itu disingkat MBBM.” Apa sajakah MBBM?
Mispersepsi Pemanfaatan Uang
Saat membaca empat pilar tersebut, Mama dan Papa mungkin bertanya-tanya, mengapa menabung tidak berada di urutan pertama dari pelajaran keuangan. Bukankah selama ini pengetahuan seperti itulah yang kita warisi dari orang tua?
Untuk menjelaskan hal tersebut, Ligwina mengatakan, “Para pemboros di luar sana, waktu kecil semua diajari menabung. Tapi, jarang yang diajari berbelanja.”
Ia menjabarkan, “Biasanya, kan, dalam pelajaran keuangan, berbelanja dianggap negatif, ya. Bagi saya, berbelanja ini penting sekali. Karena pada saat berbelanja, kita berlatih mengambil keputusan. Kalau anak ini dari kecil tidak diajari berbelanja, kemungkinan waktu besar, dia akan gagal menabung.”
Ligwina menambahkan, “Kalau belum apa-apa anaknya sudah disuruh menabung, dia kehilangan tiga skill yang di atasnya. Begitu dewasa, sudah bekerja dan menghasilkan uang, dia bingung. Karena dia terlewat, bahwa uang itu harus diupayakan dulu dan dipakai berbagi untuk orang lain.”
Yuk, kita bahas satu per satu keempat pilar tadi!
Menghasilkan Uang, Dari Mana?
Yang dimaksud dengan menghasilkan uang bukanlah anak harus bekerja. Ligwina mengatakan bahwa penghasilan uang anak-anak bisa berasal dari uang saku, hadiah ulang tahun, hadiah naik kelas atau juara lomba, dan juga menerima THR dari keluarga besar.
Ketika anak sudah semakin beranjak besar, mereka juga bisa belajar tentang profesi atau dari berjualan di bazar untuk pengumpulan dana (fundraising) sekolahnya. Ligwina mengatakan bahwa inti dari edukasi tersebut adalah agar anak belajar mengapresiasi uang. “Uang itu tidak datang dari langit,” ujarnya.
Berbagi, Kenapa Harus Duluan?
Setelah mendapat uang, kenapa harus berbagi dulu. Dengan enteng, Ligwina menjawab, “Kalau kita taruh belakangan, uangnya habis.” Ia mengatakan, “Kita ajak anak berbagi di depan, supaya setelah sesuatu yang penting itu selesai, sisanya bisa dia fokuskan (untuk yang dia inginkan).”
Ligwina juga mengatakan bahwa cara mengajarkan anak berbagi pada zaman dulu dan sekarang sedikit berbeda. Di masa lalu berbagi bisa dilakukan dengan memasukkan uang ke kotak amal atau memberi langsung kepada petugas kebersihan di kompeks perumahan. Belakangan, kita bisa memanfaatkan platform berbagi di internet untuk berbagi. Ada berbagai macam platform di mana anak bisa membagikan uangnya untuk berbagai keperluan seperti membantu membiayai anak sekolah, menyelamatkan penyu, atau memberi makan kucing liar. “Masih sama berbagi, tapi teknisnya berbeda,” ujar Ligwina.
Berbelanja, Belajar Membuat Keputusan
Menurut Ligwina, orang tua tidak sebaiknya melarang anak berbelanja. Sebab, ketika mereka belanja, anak punya kesempatan untuk menghitung, membandingkan harga, serta memilih. Pada saat itu, anak belajar membuat keputusan sendiri. Mereka akan belajar membuat strategi: mana yang cukup untuk dibeli, memilih tempat termurah untuk membeli, menghitung kemampuan belanja mereka, dan lain sebagainya.
Kebiasaan membuat keputusan ini menurut Ligwina akan menjadi dasar bagi anak-anak untuk berbelanja ketika sudah dewasa. Sementara, anak-anak yang tidak pernah mengalami berbelanja, tidak akan tahu bagaimana membelanjakan uangnya di masa dewasa. Dikhawatirkan, mereka jadi akan sangat boros.
Menabung
Walaupun berada di daftar yang paling akhir, bukan berarti menabung jadi yang paling tidak penting, ya. Ligwina mencontohkan aturan di keluarganya, ketika anak-anak mendapatkan uang (misalnya THR lebaran), maka harus ada proporsi yang disepakati, yakni 50% untuk berbagi dan belanja serta 50% sisanya untuk ditabung. “Supaya kalau dia melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, 50%-nya itu sudah disimpan duluan,” tuturnya.
Baca juga: Anak Menabung, Pilih Jangka Panjang atau Pendek?
Nah, sejak kapan anak bisa diajarkan materi ini? Sejak usia tiga tahun, balita anda sudah dapat memahami konsep keuangan, lho. Jadi, tak ada salahnya untuk memulai membicarakannya sejak awal dengan anak-anak. Ligwina mengingatkan orang tua agar tidak underestimate kemampuan anak dalam memahami keuangan.
Di samping itu, orang tua juga sebaiknya tidak berharap semuanya bisa berjalan instan karena harus bertahap sesuai dengan perkembangan usia. Ketahui Trik Ajarkan Literasi Keuangan Sesuai Usia Anak. Sebab, Ligwina mengingatkan bahwa pelajaran keuangan adalah sepanjang hayat. Yang paling penting, orang tua sudah memberikan pilar utama ini sebagai bekal hingga mereka punya kehidupan sendiri yang terpisah dari orang tua kelak.
Baca juga:
Mengajarkan Anak Menabung untuk Membeli yang Diinginkan
3 Kesalahan Mama dalam Mengatur Keuangan Rumah Tangga
Uang Pulsa Anak, Bagaimana Mengaturnya?
5 Prioritas Penting yang Harus Ada di Perencanaan Keuangan Papa
Materi Keuangan Dasar untuk Anak: Kebutuhan, Bukan Keinginan
LTF
FOTO: SHUTTERSTOCK
Baca juga: Mengapa Literasi Keuangan Penting Dikenalkan pada Anak Sejak Dini?
Akan tetapi, ternyata menabung seharusnya tidak menjadi nomor urut pertama dalam pelajaran keuangan untuk anak, lho. Ligwina Hananto, Lead Financial Trainer di QM Financial mengatakan bahwa ada empat pilar utama keuangan yang perlu diajarkan kepada anak-anak. Menurutnya, empat pilar ini universal. “Saya yakin, konsep ini dipakai di seluruh dunia,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Empat (pilar) itu disingkat MBBM.” Apa sajakah MBBM?
- Menghasilkan Uang
- Berbagi
- Berbelanja
- Menabung
Mispersepsi Pemanfaatan Uang
Saat membaca empat pilar tersebut, Mama dan Papa mungkin bertanya-tanya, mengapa menabung tidak berada di urutan pertama dari pelajaran keuangan. Bukankah selama ini pengetahuan seperti itulah yang kita warisi dari orang tua?
Untuk menjelaskan hal tersebut, Ligwina mengatakan, “Para pemboros di luar sana, waktu kecil semua diajari menabung. Tapi, jarang yang diajari berbelanja.”
Ia menjabarkan, “Biasanya, kan, dalam pelajaran keuangan, berbelanja dianggap negatif, ya. Bagi saya, berbelanja ini penting sekali. Karena pada saat berbelanja, kita berlatih mengambil keputusan. Kalau anak ini dari kecil tidak diajari berbelanja, kemungkinan waktu besar, dia akan gagal menabung.”
Ligwina menambahkan, “Kalau belum apa-apa anaknya sudah disuruh menabung, dia kehilangan tiga skill yang di atasnya. Begitu dewasa, sudah bekerja dan menghasilkan uang, dia bingung. Karena dia terlewat, bahwa uang itu harus diupayakan dulu dan dipakai berbagi untuk orang lain.”
Yuk, kita bahas satu per satu keempat pilar tadi!
Menghasilkan Uang, Dari Mana?
Yang dimaksud dengan menghasilkan uang bukanlah anak harus bekerja. Ligwina mengatakan bahwa penghasilan uang anak-anak bisa berasal dari uang saku, hadiah ulang tahun, hadiah naik kelas atau juara lomba, dan juga menerima THR dari keluarga besar.
Ketika anak sudah semakin beranjak besar, mereka juga bisa belajar tentang profesi atau dari berjualan di bazar untuk pengumpulan dana (fundraising) sekolahnya. Ligwina mengatakan bahwa inti dari edukasi tersebut adalah agar anak belajar mengapresiasi uang. “Uang itu tidak datang dari langit,” ujarnya.
Berbagi, Kenapa Harus Duluan?
Setelah mendapat uang, kenapa harus berbagi dulu. Dengan enteng, Ligwina menjawab, “Kalau kita taruh belakangan, uangnya habis.” Ia mengatakan, “Kita ajak anak berbagi di depan, supaya setelah sesuatu yang penting itu selesai, sisanya bisa dia fokuskan (untuk yang dia inginkan).”
Ligwina juga mengatakan bahwa cara mengajarkan anak berbagi pada zaman dulu dan sekarang sedikit berbeda. Di masa lalu berbagi bisa dilakukan dengan memasukkan uang ke kotak amal atau memberi langsung kepada petugas kebersihan di kompeks perumahan. Belakangan, kita bisa memanfaatkan platform berbagi di internet untuk berbagi. Ada berbagai macam platform di mana anak bisa membagikan uangnya untuk berbagai keperluan seperti membantu membiayai anak sekolah, menyelamatkan penyu, atau memberi makan kucing liar. “Masih sama berbagi, tapi teknisnya berbeda,” ujar Ligwina.
Berbelanja, Belajar Membuat Keputusan
Menurut Ligwina, orang tua tidak sebaiknya melarang anak berbelanja. Sebab, ketika mereka belanja, anak punya kesempatan untuk menghitung, membandingkan harga, serta memilih. Pada saat itu, anak belajar membuat keputusan sendiri. Mereka akan belajar membuat strategi: mana yang cukup untuk dibeli, memilih tempat termurah untuk membeli, menghitung kemampuan belanja mereka, dan lain sebagainya.
Kebiasaan membuat keputusan ini menurut Ligwina akan menjadi dasar bagi anak-anak untuk berbelanja ketika sudah dewasa. Sementara, anak-anak yang tidak pernah mengalami berbelanja, tidak akan tahu bagaimana membelanjakan uangnya di masa dewasa. Dikhawatirkan, mereka jadi akan sangat boros.
Menabung
Walaupun berada di daftar yang paling akhir, bukan berarti menabung jadi yang paling tidak penting, ya. Ligwina mencontohkan aturan di keluarganya, ketika anak-anak mendapatkan uang (misalnya THR lebaran), maka harus ada proporsi yang disepakati, yakni 50% untuk berbagi dan belanja serta 50% sisanya untuk ditabung. “Supaya kalau dia melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, 50%-nya itu sudah disimpan duluan,” tuturnya.
Baca juga: Anak Menabung, Pilih Jangka Panjang atau Pendek?
Nah, sejak kapan anak bisa diajarkan materi ini? Sejak usia tiga tahun, balita anda sudah dapat memahami konsep keuangan, lho. Jadi, tak ada salahnya untuk memulai membicarakannya sejak awal dengan anak-anak. Ligwina mengingatkan orang tua agar tidak underestimate kemampuan anak dalam memahami keuangan.
Di samping itu, orang tua juga sebaiknya tidak berharap semuanya bisa berjalan instan karena harus bertahap sesuai dengan perkembangan usia. Ketahui Trik Ajarkan Literasi Keuangan Sesuai Usia Anak. Sebab, Ligwina mengingatkan bahwa pelajaran keuangan adalah sepanjang hayat. Yang paling penting, orang tua sudah memberikan pilar utama ini sebagai bekal hingga mereka punya kehidupan sendiri yang terpisah dari orang tua kelak.
Baca juga:
Mengajarkan Anak Menabung untuk Membeli yang Diinginkan
3 Kesalahan Mama dalam Mengatur Keuangan Rumah Tangga
Uang Pulsa Anak, Bagaimana Mengaturnya?
5 Prioritas Penting yang Harus Ada di Perencanaan Keuangan Papa
Materi Keuangan Dasar untuk Anak: Kebutuhan, Bukan Keinginan
LTF
FOTO: SHUTTERSTOCK
Topic
#usiasekolah #parenting #parentingstyle #keuangan