4 Hal yang Harus Dipelajari dan Dikuasai Anak Down Syndrome
Latih Berulang Kali
Yang perlu diingat, latih suatu keterampilan atau kenalkan sesuatu kepada anak dengan sindroma Down lewat visual, dan beri penjelasan secara konkret. “Anak dengan sindroma Down kuat di visual, segala sesuatu yang dilihat. Jadi kalau mengajari apapun, maksimalkan bantuan visual, dengan gambar, dan usahakan sekonkret mungkin karena tingkat pemahamannya lebih lambat dibandingkan anak yang lain,” ujar Anas.
Misalnya, Mama ingin memperkenalkan pensil, maka hadirkan pensilnya. Ketika Mama hendak mengajarkan suatu konsep tertentu, misalnya tentang menulis, maka harus benar-benar diperagakan dan dijelaskan. Kalau dia belum paham, jelaskan berulang kali sampai paham. Sampai berapa kali? Jawab Anas, “Tidak ada batasan karena setiap anak unik, saya tidak bisa bilang lima kali atau sepuluh kali. Murid saya ada yang belajar baca butuh waktu lima tahun, dari umur enam sampai dia sudah kelas enam, dia masih belajar baca seperti anak kelas satu SD.”
Berkomunikasi dengan anak yang mengidap sindroma Down juga perlu menempuh cara khusus: Gunakan bahasa yang sederhana, jelas, tidak boleh tersirat. “Jadi, jangan yang kompleks banget, dan jangan bertingkat,” kata Anas. Misalnya, Mama hendak minta tolong anak menyimpan pen di laci, katakan saja seperti ini: Letakkan pen di laci meja dekat televisi, lacinya nomor tiga dari atas. Kalau anak masih kesulitan mencari laci yang dimaksud, segera bantu. Jadi, ketika dia mendapat instruksi yang sama di lain hari, dia tahu laci yang dimaksud.
Satu lagi yang perlu diperhatikan saat memberi tahu atau memberi instruksi kepada anak dengan sindroma Down, yaitu ajukan feedback question untuk mengecek pemahamannya. Jika Mama minta tolong anak menelepon pada pukul dua belas siang, maka setelah memberikan instruksi tersebut, ajukan pertanyaan: Mama tadi minta apa?
Seperti Mendidik Anak Biasa
Pada dasarnya, mendidik anak dengan sindroma Down sama seperti mendidik anak lain. Anda tetap harus menengakkan disiplin dan konsisten. Hanya saja, memang dibutuhkan usaha yang lebih keras. Mama pun perlu memasang target belajar yang tentunya disesuaikan dengan kemampuan anak. Tak perlu muluk-muluk, Ma. Misalnya, hari ini si kecil sudah bisa menuang air, lantas jangan langsung membuat target dia bisa masak. Beri dia target yang kira-kira memang bisa dia capai. Kalau targetnya terlalu tinggi dan sulit, anak akan stres karena gagal, sehingga akan menurunkan motivasinya. Belajar pun menjadi sesuatu yang tak menyenangkan.
Anas mengatakan, “Lakukan bertahap, lompatan tahapannya jangan terlalu tinggi, kecil-kecil saja tidak apa-apa supaya anak merasa sukses. Ketika anak dengan sindroma Down merasa sukses, pasti dia lebih termotivasi melakukan yang lain.” Tak ada salahnya juga, saat dia berhasil, berilah hadiah. Tak melulu berbentuk barang, kok, Ma. Hadiah bisa berupa pujian, ciuman, pelukan, membaca buku bersama, bermain bersama, dan aktivitas menyenangkan lain. “Lakukan hal tersebut dengan jujur dan tulus, bukan asal-asalan,” kata Anas. “Dengan tidak membiasakan anak dibelikan mainan sebagai hadiah, maka dia tidak akan terbiasa minta mainan, karena buat dia, sudah cukup perhatian orang tuanya.”
Dan, Mama harus percaya bahwa anak dengan sindroma Down juga punya potensi. Maka, sekolahkanlah dia. Saat ini, sekolah sudah lebih terbuka, dengan sistem pendidikan inklusi, yang menyertakan semua anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, seperti penyandang sindroma Down, dalam proses pembelajaran yang sama. Pendidikan inklusi berbeda dengan pendidikan khusus anak berkebutuhan, di mana anak berkebutuhan khusus dipisahkan dari siswa umum. Selain sekolah bersistem inklusi, menurut Anas yang telah bekerja sebagai pendidik anak berkebutuhan khusus selama 16 tahun, Mama juga bisa menyertakan si kecil yang menyandang sindroma Down ke sekolah luar biasa (SLB). SLB memang memiliki program khusus untuk penyandang sindroma Down.
“Akan sulit bagi anak penyandang sindroma Down bila dia harus mengikuti program reguler,” ujar Anas. Hal itu karena karena pedidikan reguler memiliki sistem ulangan. Padahal, untuk anak dengan sindroma Down, “Kita perlu mengajar, bukan mengetes. Ketika mengajar, ya, mengajar. Kalau anak salah, maka perlu dibetulkan dan diajari sampai dia memahami. Kalau mengetes, kan, salah, ya, salah. Dengan anak down syndrome tidak seperti itu karena tujuannya supaya dia bisa, bukan untuk mendapatkan angka,” kata Anas.
Menyayangi, Bukan Mengasihani
Ingat, Ma, jangan sampai sikap menerima kondisi anak dengan sindroma Down diikuti dengan perasaan kasihan. Buang jauh-jauh stigma malang pada diri anak dengan sindroma Down. “Karena menyayangi itu bukan mengasihani,” kata Anas. Kalau Anda merasa kasihan, kelak Anda akan menjadi permisif kepada anak. “Kan, tidak bagus juga kalau mendidik itu serba dibolehkan,” tambah Anas.
Malah, ketika Anda mengasihani anak penyandang sindroma Down, Anda akan membatasi perkembangannya. Misalnya, anak dengan sindroma Down yang berusia lima tahun, kesulitan belajar memakai sepatu sendiri. Lalu, karena Anda merasa kasihan kepadanya, maka setiap kali dia kesulitan melakukan itu, Anda pun selalu menolong. Akibatnya, anak pun jadi bergantung kepada pertolongan Anda sebagai orang tuanya. Dia tak bisa mandiri, padahal tugas Anda sebagai orang tua adalah melatih dia sampai bisa.
Baca juga: Pemeriksaan Down Syndrome Saat Hamil