4 Dampak Negatif Bila Anak Praremaja Pacaran
“Mama, aku pacaran sama si ini.” Kalimat itu mungkin Anda dengar dari si praremaja Anda. Mungkin cukup aneh untuk Anda, dia masih anak-anak. Masih duduk di bangku SD! Akan tetapi, ternyata ini adalah hal yang umum terjadi pada mereka.
Marilyn Benoit, M.D., psikiater anak dan remaja di Pennsylvania, AS mengatakan bahwa anak-anak antara usia 10 sampai 13 tahun mulai berpikir tentang romansa, mulai tertarik kepada lawan jenis atau naksir, dan berpikir tentang seksualitas. "Secara biologis, itulah yang diperintahkan tubuh mereka untuk dilakukan. Mereka berada pada tahap awal pubertas. Dan, secara sosial, saat itulah mereka belajar menegosiasikan hubungan,” ujarnya.
Anda mungkin menganggap apa yang sedang dilalui anak Anda sebagai cinta monyet belaka yang tak akan pernah serius. Akan tetapi, apa yang sebetulnya praremaja pikirkan tentang berkencan dan tumbuh dewasa juga menyerupai apa yang dipikirkan orang dewasa tentang arti hubungan, yakni rasa kepemilikan, harus saling memahami, menghabiskan waktu berdua, dan bersenang-seneng bersama.
Sekalipun hal ini umum terjadi dan Anda sendiri melihat banyak teman anak Anda yang juga sudah berpacaran, akan tetapi ada beberapa hal yang tetap harus diwaspadai orang tua. Sebab, menurut Rebecca Fraser-Thill, pengajar psikologi perkembangan di Bates College, Maine, AS mengatakan bahwa anak-anak yang berkencan terlalu dini atau masih di usia praremaja umumnya akan menghadapi beberapa masalah.
Berikut ini Rebecca menjabarkannya:
1. Mudah Murung dan Meningkatkan Depresi
Sebagian anak mungkin mendapat hiburan dari berpacaran. Ia bisa menikmati waktu untuk bersenang-senang sejenak dari beban sekolah dengan berkencan. Akan tetapi, tak selamanya begitu.
Konflik dalam pacaran dapat menyebabkan masalah emosional pada mereka. Selama pubertas, anak-anak akan lebih mudah mengalami mood swing, dan hal itu diperparah dengan masalah yang muncul dalam hubungan. Bahkan, Rebecca mengatakan bahwa praremaja yang berpacaran cenderung memiliki lebih banyak masalah suasana hati daripada remaja yang tidak punya pacar. Di samping itu, gejala depresi lebih sering terjadi pada remaja yang berpacaran dibandingkan dengan mereka yang tidak berkencan. Hal tersebut umum disebabkan oleh perpisahan atau putusnya hubungan.
2. Punya Lebih Banyak Konflik
Anak-anak yang berpacaran punya sumber konflik yang jauh lebih banyak daripada yang tidak. Sebab, konflik selain dengan pasangannya, juga muncul dari orang tua yang mungkin tidak menyukai pacarnya, tidak menyetujui bila ia harus pacaran atau bahkan komplain bahwa ia jadi lebih sering pulang terlambat dan bertelepon di malam hari sehingga mengabaikan beberapa waktu keluarga. Tak hanya itu, konflik juga mungkin didapat dari teman-teman yang merasa tidak memiliki cukup waktu dengannya lantaran dihabiskan untuk berkencan. Ini semua tentu menghadirkan banyak tuntutan yang tidak mudah bagi si praremaja.
3. Waktu Sosialisasi Berkurang
Ketika praremaja terlibat dalam hubungan romantis, mereka mungkin kehilangan lebih banyak kesempatan perkembangan sosial dan emosional yang terjadi dalam konteks hubungan sesama jenis dan non-romantis. Rebecca menunjukkan bahwa ketika praremaja punya pacar, mereka jadi kurang terlibat dengan teman-teman untuk bertukar waktu, mengobrol, bermain, dan lain sebagainya. Mereka menghabsikan lebih sedikit waktu dengan sahabat mereka daripada dengan pacar mereka.
4. Masalah di Rumah atau Sekolah
Saat berpacaran, anak-anak akan mengembangkan rutinitas baru, di antaranya adalah berkomunikasi di malam hari, misalnya saja lewat aplikasi percakapan instan atau media sosial. Ini tentu mengganggu waktu keluarga di malam hari atau tidur yang lebih larut. Di sekolah, mereka juga kerap dilaporkan mengalami penurunan nilai.
Baca juga:
Anak Pacaran, Hindari Lakukan 2 Hal Ini
Anak Laki-laki Lebih Mungkin Ingin Mencoba Pacaran
Anak Pacaran, Kapan Perlu Cemas?
LTF
FOTO: FREEPIK