Orthorexia, Obsesi Makan Makanan Sehat
Makan makanan sehat atau yang dikenal dengan healthy eating memang baik untuk kesehatan secara keseluruhan. Namun, terlalu terobsesi makan sehat bisa menjadi masalah yang dikenal dengan orthorexia.
Jordan Younger, pemilik blog The Balanced Blonde beberapa tahun lalu sempat menjadi sorotan lantaran kisah orthorexia-nya. Ia menyebut bahwa motivasinya untuk makan sehat menjadi demikian obsesif sampai mengalami malnutrisi
Obsesi Tidak Sehat untuk Makan Sehat
Alina Petre, MSc., R.D., ahli gizi di Uthrect, Belanda menjelaskan bahwa orthorexia atau orthorexia nervosa adalah kelainan makan yang melibatkan obsesi yang tidak sehat untuk makan sehat. Mereka membuat perubahan pola makan yang sangat ekstrem.
“Orthorexia kebanyakan berkisar pada kualitas makanan - bukan kuantitas. Jadi, fokus mereka bukan untuk menurunkan berat badan seperti pada gangguan makan lainnya,” ujar Alina. “Sebaliknya, mereka memiliki keinginan ekstrem dengan kemurnian makanan mereka, serta obsesi dengan manfaat makan sehat,” imbuhnya.
Walau belum didefinisikan sebagai gangguan makan secara resmi oleh American Psychiatric Association atau sebagai masalah psikologis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), Alina menyebut bahwa orthorexia sudah mulai diakui oleh para pekerja medis.
Penyebabnya
Menurut Alina, penyebab orthorexia memang belum dikenali dengan baik. Tetapi, menurutnya ada beberapa faktor kepribadian yang bisa menjadi faktor pemicu, di antaranya:
- Studi dari Institute of Behavorial Sciences di Semmelweis University, Budapest, Hongaria mencoba untuk menelusuri penyebab orthorexia dan menyimpulkan bahwa kecenderungan obsesif kompulsif atau OCD, yakni gangguan yang ditandai dengan pikiran negatif yang membuat seseorang merasa cemas, khawatir, atau bahkan takut, serta kelainan makan sebelumnya merupakan faktor risiko yang bisa menyebabkan orthorexia.
- Berdasarkan studi yang terbit dalam jurnal Neuropsychiatric Disease and Treatment, kecenderungan perfeksionisme juga dapat menjadi faktor penyebab.
- Beberapa profesi yang fokus pada kesehatan juga mungkin mengembangkan orthorexia. Tak hanya itu, profesi seperti penari balet atau atlet juga berisiko.
Gejalanya
Thomas M. Dunn, Ph.D., profesor psikologi di College of Education and Behavorial Sciences, University of Northern Colorado, AS dan Steven Bratman, M.D., M.P.H., physician di San Fransisco, California dalam studinya yang terbit dalam jurnal Eating Behaviors menjelaskan bagaimana gejala orthorexia:
- Terobsesi pada makan sehat yang melibatkan tekanan emosional berlebihan terkait pilihan makanan. Sehingga, dapat melibatkan perilaku perilaku kompulsif atau keasyikan mental dengan pilihan makanan yang diyakini meningkatkan kesehatan yang optimal.
- Mengalami kecemasan, rasa malu, atau takut bila melanggar aturan diet yang ditentukan sendiri.
- Menghabiskan waktu di luar jam makan untuk untuk meneliti apakah makanan tertentu cukup bersih atau 'murni' tanpa mengandung pestisida dan lainnya. Mereka juga keasyikan menimbang dan mengukur kandungan makanan serta membuat perencanaan makanan.
- Meningkatkan pembatasan diet dari waktu ke waktu.
- Penurunan berat badan yang parah, malnutrisi, atau gangguan medis lainnya.
- Mengalami gangguan fungsi sosial karena kepercayaan atau perilaku yang berkaitan dengan makan sehat.
- Mengalami ketergantungan emosional yang meliputi citra tubuh, harga diri, atau identitas yang didasarkan pada aturan diet yang dibuat sendiri.
Dampaknya
Alina mendiskripsikan dampak orthorexia sebagai berikut:
- Efek Fisik: kekurangan nutrisi penting, anemia, atau detak jantung yang tidak normal, masalah pencernaan, ketidakseimbangan elektrolit dan hormon, serta gangguan kesehatan tulang.
- Efek psikologis: Orang dengan orthorexia dapat mengalami frustrasi yang hebat ketika kebiasaan mereka yang berhubungan dengan makanan terganggu. Mereka juga bisa merasa bersamalah dan membenci diri mereka sendiri ketika itu terjadi. Karena waktunya banyak dihabiskan untuk meneliti tentang makanan, mereka jadi cenderung kurang berhasil dalam tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan pemecahan masalah yang fleksibel. Mereka juga kurang mampu mempertahankan fokus pada lingkungan sekitar mereka.
- Efek sosial: Diet yang kaku membuat mereka sulit untuk bergabung dalam kegiatan sosial seperti pesta atau undangan makan malam. Kecenderungan untuk menganggap kebiasaan makanan mereka sebagai superior dapat semakin mempersulit interaksi sosial.
Baca juga:
Resolusi Sehat 2021: Eat This, Not That
Ingin Makan yang Manis-manis atau Junk Food, Hati-hati Emotional Hunger!
Memahami 3 Pengelompokan Makanan Organik
LTF
FOTO: SHUTTERSTOCK