Gejala Dasar Autisme
Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual), ada 2 gejala dasar dari autisme, yakni:
1. Adanya hambatan dalam Interaksi atau komunikasi sosial.
Apa artinya?
- Tidak ada timbal balik dalam emosi sosial.
Misalnya, kalau kita senang, kan, ekspresi yang ditunjukkan bisa berupa senyum yang lebar, mata berbinar-binar, wajah berseri-seri, dll. Nah, anak dengan autisme hanya akan menampilkan muka yang datar. Lalu, ketika kita berinteraksi sosial, biasanya kita akan bertahan saat melakukan hubungan dengan orang lain, bahkan akan berusaha menyesuaikan diri saat melakukannya.
Nah, hal seperti ini justru sukar bagi anak. Apa maksudnya? Kita, kan, betah ngobrol selama beberapa waktu bersama orang lain. Nah, anak dengan autisme tidak bisa begitu. Ia bisa saja berhenti berbicara di tengah-tengah perbincangan.
- Komunikasi nonverbal tidak berkembang.
Ia cenderung tidak melakukan kontak mata, tanpa gesture, ekspresinya datar, dll. Padahal, kalau kita berhadapan dengan seseorang, ekspresi yang ditunjukkan disesuaikan dengan ekspresi dan juga emosi si lawan bicara.
2. Adanya perilaku yg berulang.
Perilaku yang ditampilkan bisa berbentuk:
- Perilaku yang stereotype.
Ini berarti perilaku berulang berupa gerakan-gerakan motor, seperti mengayun-ayunkan tubuhnya, memutar-mutar sesuatu (misalnya, kaus kaki, mainan, dll), dsb. Berapa lama melakukannya? Tergantung keasyikan anak. Ada yang bisa melakukannya cukup lama, terutama untuk kasus autisme yang berat.
“Anak saya tidak terlalu sering melakukannya, sih. Namun, begitu bertemu dengan situasi tertentu, dia bisa asyik memutar-mutar sesuatu. Saya sedang berusaha memahami situasi seperti apa yang membuat dia melakukannya,” kata Vera.
- Mengulangi bunyi-bunyi tertentu.
Misalnya, “Nanti dulu, ya… Nanti dulu, ya.” Ini bukan membeo saja sebab tiba-tiba ia bisa saja berkata, “Tutti frutti… Tutti frutti.” Padahal, tidak ada iklan tersebut di TV. Kenapa hal ini bisa muncul? Karena isi pikirannya berbeda dengan orang lain. Ketika ia memikirkan sesuatu yang pernah dilihat, ia langsung menyebutkan saat itu juga.
- Memiliki ritual.
Misalnya, Franklin. “Kalau masuk kamar saya, ada urutnya. Jika tidak diikuti, ia akan sangat frustrasi. Tadinya, saya tidak mengerti kenapa dia selalu marah kalau kita ikut-ikutan masuk sambil berkata, ‘Mama di luar. Mama tunggu. Mama di luar.” Ternyata, ia akan menyalakan AC. Setelah beberapa lama, barulah kita boleh masuk. Itu pun ada urutannya lagi, yakni ia akan menyalakan lampu, tutup pintu, dan mengunci pintu. Pokoknya, urutan ini tidak boleh salah,” kata Vera.
- Bisa hiperaktif atau hipoaktif terhadap input sensoris.
Misalnya, mendengar suara mesin tertentu atau suara keramaian, anak yang hipersensitif bisa benar-benar terganggu. Atau, malah bisa sebaliknya. Ia justru hipoaktif. Disentuh seperti apa pun, bahkan hingga luka berdarah, ia sama sekali tidak merasa sakit atau tidak peka terhadap rangsangan. Juga, jika ada bunyi yang kencang sekali pun, ia sama sekali tidak merasa terganggu alias biasa-biasa saja.