Bolehkah Berbohong pada Anak?
Seringkali, orangtua menemui kesulitan saat harus mengatakan kebenaran pada anak. Itu sebabnya, sadar atau tidak sadar, orangtua sering melontarkan ‘bohong putih’.
Thia (6 tahun) sering diejek teman-temannya dengan sebutan ‘gendut’. Vani, sang mama, selalu menghibur Thia dengan mengatakan bahwa Thia tidak gemuk dan meyakinkan anaknya bahwa teman-temannya salah. Ketika masuk SD, Thia baru tahu bahwa selama ini mamanya telah membohonginya soal konsep gemuk dan kurus. Thia pun merasa kecewa pada sang mama.
'Bohong putih' sering diartikan para orang tua sebagai kebohongan untuk tujuan baik anak. Dalam hal ini, untuk menyederhanakan masalah atau melindungi kepolosan anak yang belum cukup umur mengerti topik pembicaraan tertentu.
Meski banyak orang menganggap 'berbohong putih' yang dilakukan sesekali tidak apa-apa, namun dari sisi psikologi perkembangan anak, 'berbohong putih' tetaplah suatu kebohongan yang bisa berdampak negatif bagi anak.
Inilah beberapa dampak ‘berbohong putih’ pada anak:
• Anak tidak dididik soal moral baik dan buruk, dengan cara tidak mengatakan hal sebenarnya.
• Membuat anak menerima pesan yang salah dan membingungkan, yang dapat memengaruhi mereka dalam kehidupan bermasyarakat kelak.
• Menimbulkan tanda tanya dan rasa tidak nyaman pada anak.
• Membuat anak meniru cara yang dicontohkan orang tuanya jika kelak ia berada di situasi sama. Tidak mau anak jadi pembohong cilik, kan?
• Membuat anak tidak belajar mengembangkan nalarnya, karena ia seolah-olah dibungkam dengan jalan pintas. Padahal, anak seharusnya memiliki kemampuan analitik untuk belajar mengapa begini mengapa begitu.
Jadi, apa yang sebaiknya Anda lakukan? Ahli perkembangan anak mengatakan bahwa yang terbaik adalah menghindari berbohong. Selalu jawab dengan jujur dan beri anak penjelasan sesuai kemampuannya menyerap informasi.