Dari segi agama, sunat sebaiknya dilakukan sebelum anak mencapai usia pubertas atau aqil baligh. Namun, kapan tepatnya, itu semua tergantung pada banyak pertimbangan. Waktu sunat bisa bervariasi, tergantung budaya dan kebiasaan. Ada yang terbiasa menyunatkan anaknya saat masih bayi atau balita, namun ada juga yang melakukannya saat usia sekolah.

Dari segi medis, anak sebenarnya bisa disunat kapan saja, dari baru lahir sampai dewasa. Tapi, banyak orang tua yang tak tega menyunat anaknya saat masih bayi, kecuali ada alasan kesehatan. Hauriyah, misalnya, memutuskan menyunat Kadzim (10) ketika kelas 1 SD. Alasannya, ya, karena baru di usia itulah Kadzim berani disunat.

“Sebenarnya, sejak TK, saya sudah menjelaskan pada Kadzim tentang sunat. Tapi, ia belum berani. Saya pun tidak memaksanya, dan memilih menunggu sampai Kadzim berani,” kata mama dari 3 anak ini yang tinggal di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Bila tidak terkendala dengan masalah kesehatan, Ismawati sebenarnya ingin Farhan disunat ketika ia sudah lebih besar, sekitar TK atau awal SD. “Supaya bisa dipestakan seperti para sepupunya,” begitu alasannya.  

Bila Ismawati akhirnya menyunat Farhan saat bayi karena masalah kesehatan, lain lagi dengan Dina Rahman. Sejak tahu bahwa anak yang dikandungnya adalah laki-laki, Dina sudah menetapkan hati ingin agar anaknya disunat ketika usianya baru 7 hari.

“Saya ingin mencontoh cucu Nabi Muhamad, Hasan dan Husein, yang disunat seminggu setelah lahir. Tapi nyatanya, saya tidak tega. Akhirnya mundur sampai usia Lintang 2 bulan,” kata mama dari satu anak ini. 

Kapan menyunat anak memang sebaiknya mempertimbangkan aspek psikologis anak. Bila ia sudah cukup mengerti tentang sunat, sebaiknya lakukan ketika ia sudah siap dan bersedia melakukannya secara sukarela. Jangan melakukannya dengan paksa. Selain menyulitkan dokter yang akan menyunat (karena anak menangis dan meronta-ronta), juga bisa membuatnya mengalami trauma psikologis yang bisa berdampak jangka panjang.

Baca juga: Persiapan Anak Sebelum Sunat