Solusi Hadapi Kakak Adik Bertengkar
Bagi sebagian dari kita yang memiliki kakak atau adik, pasti terbiasa ‘berantem’ dengan mereka. Apalagi jika orang tua Anda memiliki lebih dari 2 orang anak, saat berselisih pendapat bisa terbagi atas beberapa kubu. Tidak melulu si sulung berargumen dengan si bungsu, sebab si tengah bisa ikut menimpali dengan argumennya sendiri! Kalau mengingat kejadian tersebut, mungkin Mama pikir jadi anak tunggal akan jauh lebih enak. Hahaha! Tapi alam berkata lain. Sekarang Anda bukan lagi sebagai pelaku, tapi sebagai ‘penonton’ interaksi kakak beradik. Saya sendiri memiliki 3 anak, perempuan semua, yang kalau mulai ‘ngotot-ngototan’, saya sempat terbawa arus untuk ikut ngotot juga: meminta mereka diam! Tiga bocah perempuan ini bisa menjadi berisik luar biasa, Ma!
Namun yang perlu kita sadari sekarang sebagai Mama adalah bagaimana menjadikan konflik di antara para bocah ini sesuatu yang positif. Konflik berkepanjangan pun tidak baik. Kita ingin menghindari konsep di kepala mereka bahwa ‘saudaraku (terkadang) adalah musuhku’ atau ‘aku harus berkompetisi dengan saudaraku’. Jika dalam pertemanan pun terjadi konflik, tentu kita bisa mencoba mengajak mereka untuk berteman dengan saudara sendiri, kan? Berikut ini beberapa tip agar anak menganggap ‘saudaraku adalah temanku.
Ajari mereka berempati melalui contoh :
Empati adalah memahami perasaan orang lain. Saat anak Anda marah dan frustrasi, nyatakan bahwa Anda mengerti perasaannya. Ajak ia menggunakan kata kata (yang baik) daripada aksi yang melukai saudaranya. Perasaan si anak sebaiknya diungkapkan. Misalnya, saat si bungsu jadi ‘anak bawang’ ia bisa bilang, “Aku sedih kalau tidak diajak bermain bersama. Aku boleh ikut, dong.” Atau, saat memperebutkan mainan, “Kakak kesal kalau kamu main itu terus. Kakak, ‘kan, juga mau coba. Habis kamu bermain, nanti giliran aku, ya. Gantian mainannya…"
Dalam setiap argumen yang terjadi, Mama jangan segera menuduh salah satu anak sebagai biang keladinya. Apalagi menghukumnya. Ajak mereka untuk menerangkan apa yang terjadi, dengarkan penjelasan dan ungkapan perasaan dari setiap anak. Dengan begitu, mereka lebih puas karena ‘dianggap’ dan perasaan mereka dipahami oleh Mama maupun adik/ kakak-nya. Di kemudian hari mereka akan terbiasa untuk berempati dengan perasaan saudaranya masing-masing (dan lingkungan di luar rumah).
Pastikan anak-anak mengerti dan paham dengan aturan Anda :
Anak-anak butuh aturan. Hal itu memberi rasa aman karena ada koridor yang bisa mereka pegang. Namun aturan baru akan membuat kedamaian di rumah jika Anda disiplin menegakkan aturan tersebut. Jika mereka sudah tahu ada aturan dilarang membentak, memukul, atau menyakiti fisik dan mental saudaranya, maka setiap situasi itu terjadi, Anda kembali ingatkan, dan jika perlu beri hukuman yang wajar jika anak Anda berulang-ulang melanggar aturan tersebut. Saya cukup meminta si bungsu Davienne (5) untuk diam di pojok selama 5 menit setelah ia memukul kakaknya untuk ke-2 kalinya di hari itu. Karena saya tahu hukuman ini efektif buatnya yang tidak bisa diam. Sementara untuk Jasmine (9), saya minta ia diam di meja belajarnya, sambil menuliskan apa yang telah terjadi dan yang bisa ia perbaiki, misal : saya tidak akan membentak adik lagi jika sedang marah. Aturan harus ditegakkan dan adil, bukan berarti mereka harus mendapat perlakuan maupun hukuman yang sama persis jika mengabaikannya.
Namun yang perlu kita sadari sekarang sebagai Mama adalah bagaimana menjadikan konflik di antara para bocah ini sesuatu yang positif. Konflik berkepanjangan pun tidak baik. Kita ingin menghindari konsep di kepala mereka bahwa ‘saudaraku (terkadang) adalah musuhku’ atau ‘aku harus berkompetisi dengan saudaraku’. Jika dalam pertemanan pun terjadi konflik, tentu kita bisa mencoba mengajak mereka untuk berteman dengan saudara sendiri, kan? Berikut ini beberapa tip agar anak menganggap ‘saudaraku adalah temanku.
Ajari mereka berempati melalui contoh :
Empati adalah memahami perasaan orang lain. Saat anak Anda marah dan frustrasi, nyatakan bahwa Anda mengerti perasaannya. Ajak ia menggunakan kata kata (yang baik) daripada aksi yang melukai saudaranya. Perasaan si anak sebaiknya diungkapkan. Misalnya, saat si bungsu jadi ‘anak bawang’ ia bisa bilang, “Aku sedih kalau tidak diajak bermain bersama. Aku boleh ikut, dong.” Atau, saat memperebutkan mainan, “Kakak kesal kalau kamu main itu terus. Kakak, ‘kan, juga mau coba. Habis kamu bermain, nanti giliran aku, ya. Gantian mainannya…"
Dalam setiap argumen yang terjadi, Mama jangan segera menuduh salah satu anak sebagai biang keladinya. Apalagi menghukumnya. Ajak mereka untuk menerangkan apa yang terjadi, dengarkan penjelasan dan ungkapan perasaan dari setiap anak. Dengan begitu, mereka lebih puas karena ‘dianggap’ dan perasaan mereka dipahami oleh Mama maupun adik/ kakak-nya. Di kemudian hari mereka akan terbiasa untuk berempati dengan perasaan saudaranya masing-masing (dan lingkungan di luar rumah).
Pastikan anak-anak mengerti dan paham dengan aturan Anda :
Anak-anak butuh aturan. Hal itu memberi rasa aman karena ada koridor yang bisa mereka pegang. Namun aturan baru akan membuat kedamaian di rumah jika Anda disiplin menegakkan aturan tersebut. Jika mereka sudah tahu ada aturan dilarang membentak, memukul, atau menyakiti fisik dan mental saudaranya, maka setiap situasi itu terjadi, Anda kembali ingatkan, dan jika perlu beri hukuman yang wajar jika anak Anda berulang-ulang melanggar aturan tersebut. Saya cukup meminta si bungsu Davienne (5) untuk diam di pojok selama 5 menit setelah ia memukul kakaknya untuk ke-2 kalinya di hari itu. Karena saya tahu hukuman ini efektif buatnya yang tidak bisa diam. Sementara untuk Jasmine (9), saya minta ia diam di meja belajarnya, sambil menuliskan apa yang telah terjadi dan yang bisa ia perbaiki, misal : saya tidak akan membentak adik lagi jika sedang marah. Aturan harus ditegakkan dan adil, bukan berarti mereka harus mendapat perlakuan maupun hukuman yang sama persis jika mengabaikannya.