Atasi Persaingan Kakak Adik
Secara umum, sibling rivalry diartikan sebagai persaingan antar saudara sekandung yang memperebutkan perhatian dan kasih sayang, yang dapat berbuntut pada kecemburuan, pertengkaran, dan permusuhan. “Kenyataannya, hampir selalu ada persaingan antarsaudara. Sangat lazim timbul perasaan kurang nyaman akan kehadiran saudara sekandung. Itu manusiawi, karena pada dasarnya, manusia menghendaki kekuasaan atas sesuatu. Jadi, jangankan pada saudara yang memiliki ikatan kekerabatan permanen, kepada anak lain pun rasa iri atau persaingan itu bisa muncul,” tutur Amelia Hirawan, psikolog, art terapist dan pendiri lembaga psikologi Sinergia Consultant.
Ajeng, ibu dari Shelly (8), Lisa (7), dan Rafa (3) mengaku, persaingan antara kedua putrinya sudah seperti makanan sehari-hari. Sementara, kepada si bungsu, Shelly dan Lisa lebih mudah mengalah. Ajeng juga menganggap hal tersebut wajar dan tak terelakkan. “Paling sering adalah rebutan perhatian Mama,” ujarnya. Dhian, mama dari Damian (9) dan Dimitri (5) menyatakan, bahwa kendati tidak sering, muncul juga persaingan di antara kedua putranya. “Biasanya soal rebutan Mama atau mainan. Tapi cukup jarang, mungkin karena perbedaan usia lumayan jauh. Kakaknya sudah bisa diajak bicara, dan saya berbagi tugas dengan suami,” tuturnya.
Kondisi ini tidak dipandang buruk oleh Amelia. “Anak boleh berekspresi, meluapkan emosi, bahkan marah saat merasa terganggu. Justru ini menjadi kesempatan bagi orang tua untuk memberikan edukasi bagaimana menyalurkan emosi dengan tepat,” paparnya. “Manusia juga membutuhkan naluri berkompetisi, terutama sebagai penyemangat untuk maju. Asalkan hal tersebut dilakukan secara sehat, dan tidak berujung pada hal negatif seperti permusuhan, kekerasan, kebencian.”
Menghadapi kedua putrinya yang kompetitif satu sama lain, Ajeng menerapkan hal serupa. Yaitu, mereka boleh marah asalkan sadar batasnya, juga tidak membahayakan orang lain. “Saya membiasakan itu melalui diskusi, juga memberikan contoh langsung,” ungkapnya. Selain itu, Ajeng menekankan pada anak-anaknya, bahwa yang lebih penting adalah upaya untuk mengalahkan diri sendiri, bukan mengalahkan orang lain. Jadi, naluri kompetisi pada anak ditempatkan sebagai sarana untuk memacu diri sendiri, agar dapat memberikan hasil lebih baik dari yang mereka perkirakan sebelumnya.
Tidak Ada Persaingan, Mungkinkah? “Kemungkinannya kecil, tapi tidak mustahil,” ujar Amelia. Dia menyebutkan dua kandidat penyebab tidak munculnya rivalitas antar saudara. Pertama, karena anak memang sangat siap untuk berbagi. Dengan demikian, dia tidak terlalu merasa terganggu ketika harus berkompromi, dan bisa banyak mengalah. Misal, si kakak memang sangat menginginkan adik, atau sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh orang tuanya akan kehadiran ‘orang baru’ dalam keluarga mereka. Bisa juga karena anak memiliki pembawaan berhati besar, easy going, pandai mengalihkan emosinya, dan dibesarkan dalam keluarga yang menganut nilai-nilai seperti itu. Kedua, karena anak berwatak tertutup atau tidak pandai mengekspresikan emosi.
Nah, bagaimana membedakan keduanya? Waspadai setiap sinyal yang dikirimkan anak. “Emosi yang dipendam itu berbahaya. Apalagi bagi anak. Bila sedari kecil dia tidak terlatih untuk menyalurkan perasaan, besar kemungkinan akan mendapatkan kesulitan setelah dewasa. Karena kelak, tidak selalu ada orang tua yang berperan sebagai pelindungnya,” tutur Amelia. Emosi yang dipendam biasanya muncul pada bahasa tubuh atau ekspresi wajah. “Bibir memang bisa bohong, tapi tubuh anak-anak masih cukup jujur.”
Namun, apabila masih tetap kesulitan membaca perasaan anak, dan anak menolak diajak bicara dari hati ke hati, Amelia menganjurkan orang tua untuk melatih anak mengeluarkan emosinya melalui media lain. Misalnya dengan gambar atau tulisan. Dalam hal ini, Alina ibu dari Talia (8) dan Bagas (6), yang merasa Talia cenderung tertutup, akhirnya memberikan sebuah buku harian dengan kunci, tempat Talia bisa menuliskan apa pun yang dia mau. Dengan izin Talia, terkadang Alina diperbolehkan membuka buku harian tersebut. Dari sana dia tahu, bahwa Talia juga pernah merasa kesal pada Bagas yang seolah menjadi pusat perhatian ‘seluruh dunia’. Meskipun begitu, di bawah curhat kecil itu, toh, si gadis cilik menambahkan, dia memaklumi dan tetap menyayangi adiknya.
“Selain itu, yang terpenting adalah, orang tua harus bisa menjadi role model,” tambah Amelia. Misalnya, dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana marah dengan terarah, protes secara sehat, bergiliran, dan mendebat dengan santun. Orang tua juga perlu membangun kondisi yang memperbolehkan anak bertengkar, marah, atau bernegosiasi. Dengan demikian, anak tahu bahwa dia berhak protes kalau kuenya direbut sang adik, juga tidak dilarang untuk menawar giliran menggunakan mainan favorit bersama.
“Setelah diberikan aneka rangsangan, wajib diwaspadai bila anak tetap tertutup atau terlalu nrimo. Dalam hal ini, ada risiko lambat membangun hasrat pencapaian dan kekurangan skill to survive. Kalau orang tua sudah angkat tangan, sebaiknya berkonsultasi ke psikolog anak,” ujar Amelia. “Gunakan pendekatan logis saja. Misal, saat mainan kesayangan yang sedang digunakan, tahu-tahu direbut orang tanpa permisi, ternyata si anak cuma pasrah. Itu wajar tidak?” tambahnya.
Ada anggapan bahwa anak-anak sekandung yang umurnya berdekatan dan memiliki jenis kelamin sama, cenderung lebih gencar rivalitasnya. Terkait hal ini, Amelia mengaku belum pernah melakukan riset secara khusus. Namun berdasarkan pengalamannya sebagai psikolog, hal tersebut relatif benar. “Karena mereka cenderung memiliki kebutuhan, ketertarikan, dan minat yang sama, jadinya rebutan,” ujarnya. Tapi, sebetulnya, menurut Amelia, ini juga akibat pengaruh eksternal. Misalnya, anak perempuan, dari belum lahir saja, waktu baby shower biasanya sudah kebanjiran kado serba pink, kan. Nah, kakak perempuannya yang juga suka pink, jadi berpikir, “Wah, adikku juga suka pink ternyata.’ Beda halnya kalau kakaknya laki-laki, yang biasa sudah ‘di-brain wash’ bahwa warna lelaki harus biru. Si Kakak laki-laki akan berpikir, ‘Oh, warna untuk adik bayiku adalah pink, jadi barang-barang biruku aman...”
Karena itu, demi mengurangi rivalitas, Amelia menyarankan untuk tidak menyamaratakan ekspektasi dan stereotip terhadap anak. “Tiap anak sebaiknya dibuatkan ‘panggung’ sendiri sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Besarkan mereka sesuai talentanya.” Setiap anak adalah unik, jadi tidak adil bila membuat anak-anak itu merasa mereka harus rela dibandingkan-bandingkan dengan saudara atau kawan-kawannya. “Rivalitas terberat bisa terjadi pada kasus anak kembar, karena orang cenderung melihat mereka sebagai manusia yang sama dan membandingkan keduanya,” ujar Amelia. “Anak yang tadinya merasa baik-baik saja dengan keadaannya, kalau tiap hari dibanding-bandingkan, lama-lama pasti akan terpicu rivalitasnya.”
Akan halnya anak tunggal, Amelia menyarankan orang tua untuk berperan sebagai saudaranya, agar anak terlatih untuk berkompromi, mengatur giliran, berbagi kekuasaan di rumah. Juga, dorong anak untuk bergaul secara sehat dengan kawan dari lingkungan rumah maupun sekolah.