Mengintip Sistem Pendidikan di 5 Negara Maju
Sebelum memutuskan akan menyekolahkan anak di luar negeri, ada baiknya Mama ketahui terlebih dulu sistem pendidikannya. Berikut ini model pendidikan di 5 negara maju di dunia
1. China: Jam Sekolah yang Panjang
Di Amerika Serikat, jam sekolah rata-rata adalah enam setengah jam per hari. Namun, murid-murid prasekolah di China saja bisa belajar selama 8 jam per hari, dan begitu berusia 6 tahun, anak-anak menghabiskan beberapa jam lagi untuk mengerjakan PR. “Orang tua di negara ini akan melakukan apa saja untuk memastikan anak tunggal mereka sukses dan masuk ke universitas top di masyarakat yang sangat kompertitif ini,” kata Stephanie Giambruno, seorang produser TV asal Amerika Serikat, dan mama dari anak berusia 4 tahun, yang tinggal di Beijing selama empat tahun terakhir.
“Anda tak akan menjumpai anak TK di negara ini bermain di luar, karena mereka berada di rumah mengerjakan PR. Bahkan di hari Sabtu, mereka belajar bahasa Inggris atau mata pelajaran lain.” Tentu saja, semua itu tidak sia-sia. Murid-murid di China yang berumur 6 tahun ke atas telah mampu menghapal karakter huruf Mandarin yang rumit (sebanyak 50 karakter baru setiap minggu), menguasai bahasa kedua (umumnya bahasa Inggris), dan mempelajari lebih jauh pelajaran sains, mengambil tiga hingga empat tahun di SMA untuk mata pelajaran biologi, kimia, dan fisika, sementara kebanyakan murid Amerika Serikat hanya setahun untuk setiap mata pelajaran itu.
2. Selandia Baru: Membagi Kisah Mereka
Anda mungkin ragu, kapan sebaiknya anak-anak Anda mulai menggunakan internet. Namun, di Selandia Baru, anak-anak justru didorong untuk mengunggah karya mereka di dunia maya sejak usia dini. “Para murid mulai menggunakan teknologi sejak usia 5 tahun, menggambar dengan program grafik sederhana, lantas mendiktekan keterangannya kepada para guru,” kata Sarah McPherson, Ed. D., kepala departemen teknologi instruksional di New York Institute of Technology, Old Westbury, New York, Amerika Serikat, yang belum lama ini berkunjung ke sekolah-sekolah di Selandia Baru.
“Begitu mereka duduk di kelas tiga, mereka sudah mengunggah tulisan dan gambar mereka sendiri.” Semua itu merupakan bagian dari tujuan Kementerian Pendidikan Selandia Baru untuk menciptakan generasi anak-anak yang mampu mengekspresikan diri mereka sendiri, dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. “Blogging merupakan salah satu cara untuk mereka menyuarakan diri,” tegas Dr. McPherson.
3. India: Bintang Akademik
Dapatkah Anda membayangkan anak-anak Anda tergabung dalam tim yang berlaga dalam pertandingan tebak kata, bukan sepak bola atau tenis?
Begitulah yang terjadi di India. Pertandingan elokuensi, catur, dan tentu saja, tebak kata, menarik ratusan penonton untuk menyaksikan, menggambarkan penekanan negara itu pada pemikiran kreatif. Sejak usia muda, para murid didorong untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang menitikberatkan kepada kemampuan akademik daripada fisik.
“Ketika Anda bermain tebak kata, Anda berkomunikasi secara non-verbal kepada rekan satu tim, dan mereka harus menerjemahkan apa yang Anda ucapkan,” kata Compton, pembuat film seri dokumenter tentang edukasi global, antara lain The Finland Phenomenon: Inside the World’s
Most Surprising School System. “Hal itu membutuhkan kreativitas yang luar biasa dan kemampuan memecahkan masalah.” Beberapa sekolah di India juga mulai mengajarkan matematika Vedic, sistem formula Hindu kuno, yang dikenal sebagai sutra. Dengan menerapkan 16 aturan pada berbagai soal matematika, antara lain yang perkalian dan pembagian, para murid menggunakan kemampuan tersebut untuk menghadapi ujian-ujian yang kompetitif.
4. Jepang: Keteraturan di Kelas
Yang mengejutkan, orang Jepang menemukan bahwa jumlah murid yang besar dalam satu kelas (sekitar 28 orang di sekolah dasar, dibandingkan 23 di Amerika Serikat) malah membuat pengajaran berlangsung efektif: Saat seorang guru mengajar di kelas yang lebih besar, maka rekan-rekan guru yang lain bisa menghabiskan waktu mereka dengan berkolaborasi, membuat perencanaan pengajaran, dan melakukan tutoring satu per satu sebanyak mungkin. “Kelas-kelas di negara itu lebih terstruktur daripada di Amerika Serikat, dan guru memiliki kendali penuh,” kata Verna Kimura, konsultan pendidikan yang tinggal dan mengajar di Jepang selama lebih dari dua dekade. “Dan anak-anak berkompetisi pada setiap jenjang, dimulai dengan bejuang untuk masuk ke TK favorit.” Orang Jepang percaya bahwa kebiasaan belajar yang baik di usia muda akan membangun pola yang akan terus diterapkan oleh anak-anak saat beranjak dewasa. Di usia 6 atau 7 tahun, para murid diajarkan kemapuan mengikuti ujian yang spesifik, seperti cara menggunakan proses eliminasi untuk menemukan jawaban yang benar untuk soal
pilihan ganda. “Pendekatan itu mungkin tampak intens, tetapi atmosfer yang tercipta akan membantu membangun daya juang dan tanggung jawab,” kata Kimura.
5. Kanada: Peralihan yang Lancar
Katie York bersyukur ada program unik untuk anak prasekolah di Provinsi Ontario. Saat hendak menyekolahkan putrinya, Gemma, kini berusia 6 tahun, ia memiliki empat alternatif sistem sekolah yang dibiayai publik, sehingga gratis, di kotanya, Toronto: bahasa Inggris, agama Katolik Inggris, Francophone, dan Katorik Prancis. Para orang tua di Ontario pun dapat memasukkan anak-anak mereka di TK junior (JK) di usia 3, tahun; mereka berbagi kelas dengan murid yang berusia 4 dan 5 tahun (dikenal sebagai TK senior atau SK). Menjadi sukarelawan di kelas, yang didorong, tetapi tidak diwajibkan, memberikan York informasi tentang bagaimana pendekatan multi usia itu bisa berhasil. Misalnya, SK dapat mempunyai kemampuan praliterasi satu per satu dengan sesi bersama seorang guru atau relawan murid dari kelas yang lebih tinggi. Sementara itu, JK akan mengerjakan proyek seni, yang berfokus kepada topik yang sama. “Sungguh menakjubkan melihat semua itu cocok, dan kemampuan Gemma pun meningkat di anatara JK dan SK,” ungkap York. Orang tua perlu menerima kurikulum detail dan rencana belajar, sehingga mereka dapat melengkapi pendidikan anak-anak mereka di rumah.
Foto : 123rf
Baca juga : Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak