Banyak Bakat = Anak Berhasil?
Menurut Indri Savitri, Psi., M.Psi., Counseling & Education Manager dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI), setiap anak pasti memiliki bakat. “Anak dengan bakat musik, akan mampu menghasilkan suara musik saat diberi instrumen. Anak dengan bakat kinestetik (olahraga), mungkin memilki kelenturan tubuh yang membantunya menjadi perenang atau olahragawan lainnya. Hanya saja, bila bakat ini tidak diasah, ya tidak akan menjadi apa-apa”.
Indri kemudian merujuk kepada model bakat atau gifted yang dibuat oleh Joseph Renzulli, seorang profesor psikologi pendidikan dari University of Connecticut. Menurut Renzulli, seorang anak dikatakan berbakat bila memiliki kemampuan belajar di atas rata-rata (meliputi kemampuan menyerap informasi dan mempraktekkannya), kreativitas (meliputi kesempatan untuk mengekspresikan, menerima stimulasi, dan mengeksplor bakatnya), dan komitmen tinggi (meliputi kerja keras, motivasi, dan kepercayaan diri). Tanpa sinergi dari tiga aspek ini, bakat seorang anak tidak dapat terlihat atau mencapai kesuksesan.
“Anak dengan bakat bisa kemudian tidak menyukai bakat yang ia miliki karena adanya traumatic events,” ujar Indri. Faktor ini kemudian dapat mempengaruhi komitmen anak. Katakanlah anak Anda berbakat di bidang musik. Bangga dengan bakat anak, Anda mengikutkannya kursus tiga kali seminggu. Di rumah Anda juga tak henti memaksanya berlatih. Belum lagi gurunya, yang turut ‘mendorong’ anak untuk mengikuti berbagai perlombaan. Anda lupa, bahwa bagaimanapun anak tetaplah anak-anak. Mereka bisa merasa bosan, malas, dan suka bermanja-manja dengan Anda.
“Ini yang lupa diakomodasi oleh para orang tua. Akhirnya anak bisa merasa frustasi, dan marah dengan bakatnya sendiri.” Indri juga menambahkan bahwa banyak orang tua yang terlalu memaksa demi mencapai target yang mereka miliki, tanpa memahami anaknya sebagai seorang individu.
Menurut Indri, bagaimana anak mengelola emosinya juga mempengaruhi bakat yang ia miliki. “Ada anak yang tough. Saat gagal, ia akan sedih dan menangis tapi kemudian bisa segera bangkit dan termotivasi. Namun, ada juga anak yang membutuhkan waktu lebih lama untuk bangkit kembali,” ucap Indri. Hal ini yang mungkin terjadi pada Gladwell. Untuk anak-anak seperti ini, Indri menyarankan para orang tua untuk tidak melakukan pemaksaan. “Kalaupun dia pintar atau berbakat sekali, tapi kepribadiannya tidak kuat, jangan pernah memaksanya. Ia memiliki fase tersendiri, dan sebagai orang tua, kita hanya perlu mendukungnya,” ucap Indri.