3 Hal yang Perlu Dikomunikasikan saat Mengajarkan Toleransi Kepada Anak
Foto: Pixabay
Sebagai warga di negara yang multikultur, kita seyogyanya menjadi pribadi yang toleran. Sayangnya, benih-benih intoleransi mulai tampak, bahkan di lembaga pendidikan. Hal ini terlihat dari beberapa kasus seperti teror terhadap siswa di Sragen, Jawa Tengah dari sesama siswa karena korban tidak memakai kerudung, ada juga peraturan sekolah yang mewajibkan seluruh siswa perempuan termasuk non muslim agar mengenakan kerudung sebagai seragam sekolah, atau pun berita tentang kegiatan pramuka yang diisi dengan yel-yel berbau SARA di Yogyakarta.
Sebagai orang tua, kita tentu tidak berharap anak kita tumbuh dengan sentimen SARA atau bahkan menjadi subjek yang melakukan intimidasi terkait SARA. Menanggapi hal ini, Hanlie Muliani, M.Psi, psikolog klinis pendiri Sahabat Orangtua & Anak sekaligus aktivis pencegahan perundungan mengatakan bahwa isu SARA memang menjadi salah satu bahan perundungan yang cukup banyak dialami anak-anak. Oleh karenanya, orang tua harus mengajarkan toleransi kepada anak.
Di usianya, anak-anak memang akan ada di fase menganalisis perbedaan atau membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Ini adalah saat yang tepat untuk mengajari mereka tentang keberagaman dan bagaimana harus bersikap atas kondisi tersebut.
“Nah, yang saya lakukan ketika memberikan materi tentang perundungan adalah edukasi lewat percakapan. Karena, untuk menumbuhkan kesadaran, ya, harus lewat percakapan. Tidak akan efektif kalau dengan cara menggurui atau memaksa, karena hanya akan masuk telinga kanan keluar telinga kiri,” ujarnya.
Hanlie menyebutkan beberapa hal yang bisa dikomunikasikan kepada anak untuk menumbuhkan toleransi:
1. Tentang Hal yang Tidak Bisa Direncanakan
Hanlie menyebut bahwa untuk membahas keberagaman dan toleransi, orang tua bisa membuka perbincangan dengan pertanyaan, “Hayo, Mama/Papa mau tanya, apa yang tidak bisa direncanakan dan diatur manusia di dunia ini?”
Dialog tersebut bisa dilanjutkan dengan penjelasan berikut, “Jawabannya adalah kelahiran. Tidak ada manusia yang bisa merencanakan kelahiran. Tidak ada yang bisa memilih orang tuanya, ia akan lahir di negara mana, menjadi suku apa, warna kulitnya apa, bentuk rambutnya bagaimana, dan memiliki agama apa. Artinya itu semua sifatnya given. Apakah itu pilihan mereka? Atau itu sebuah kesalahan? Lalu, apakah artinya kita layak menyingkirkan teman kita yang berbeda?
Hanlie menyebut bahwa dialog ini berfungsi sebagai pemantik dialog dalam diri anak sendiri untuk menyadarkan bahwa mereka perlu menerima diri mereka sendiri dan menghargai orang lain apa adanya.
2. Tentang Perasaan Orang Lain
Hal lain yang perlu diajarkan dalam toleransi menurut Hanlie adalah empati. Ini bisa dilakukan dengan cara memberi pertanyaan, “Ada nggak, sih, yang suka menerima perlakuan seperti itu (intimidatif—disingkirkan atau diolok karena menjadi minoritas)?”
Ajak anak-anak untuk memahami perasaan orang lain ketika berada dalam kondisi tersebut dengan mengandaikan dirinya sendiri di posisi orang tersebut. Inilah pintu masuk orang tua untuk menjelaskan, “Tentu nggak enak, kan? Jadi kita sebaiknya memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Atau bahkan, kamu juga bisa memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan.”
3. Tentang Kebhinekaan
Untuk anak yang usianya lebih besar, Hanlie menyarankan dialog tambahan seputar kebhinekaan. Percakapan yang dicontohkannya adalah, “Dulu, Indonesia ini terbentuknya dengan kondisi yang berbeda-beda, kan? Ada orang Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua dengan budayanya masing-masing. Agama para pendiri bangsa juga beragam, artinya kita bhineka.”
Memberdayakan The Green Child
Hanlie mengutarakan pentingnya memberdayakan the green child, yakni anak-anak yang mengetahui adanya tindakan perundungan atau intimidatif lainnya, tetapi menjadi pihak yang pasif. “Alasan anak-anak ini diam adalah karena mereka takut. Oleh karenanya, kita harus memberdayakan mereka untuk mengatakan tidak pada hal-hal keliru yang mereka temukan di sekolah. Kalau yang stand up bisa mencapai lima atau sepuluh, mereka akan lebih kuat.” ujarnya. Untuk itulah pemahaman akan toleransi ini menjadi sangat penting untuk mewujudkannya.
(Lela Latifa)