Pendidikan Inklusif untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 1 miliar orang hidup dengan disabilitas. Dari jumlah tersebut, sekitar 450 juta orang hidup dengan masalah neurologis yang tidak kasat mata, termasuk masalah perkembangan pada anak dengan Gangguan Spektrum Autism (GSA), ADHD, disabilitas intelektual dan gangguan belajar. Diperkirakan, sekitar dua per tiga nya tidak mendapatkan layanan kesehatan profesional akibat stigma, diskriminasi, dan ketidaktahuan masyarakat.
WHO sendiri memperkirakan 1 dari 160 anak memiliki GSA. Berdasarkan data dari US Center for Disease and Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 1 dari 6 anak usia 3-17 tahun telah didiagnosis dengan masalah perkembangan sementara, 1 dari 54 anak memiliki GSA dan sekitar 1 dari 6 anak usia 3-17 tahun telah didiagnosis dengan masalah perkembangan. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak diperkirakan terdapat 2.4 juta orang yang memiliki GSA.
Anak-anak berkebutuhan khusus masih banyak yang mendapatkan stigma serta tidak punya kesempatan mendapatkan hak dasarnya karena memperoleh diskriminasi. Tidak sedikit anak dengan kebutuhan khusus yang tidak dapat mengikuti program pendidikan di sekolah lantaran tidak terakomodasi cara belajar yang sesuai kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus sering kali memiliki gap pembelajaran yang harusnya difasilitasi secara khusus dan berkelanjutan.
Pendidikan inklusif dinilai sebagai program yang mampu mengoptimalkan perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus. Lingkungan yang inklusif serta intervensi dini menurut penelitian terbukti dapat meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup anak berkebutuhan khusus dan keluarganya.
Shawn Hutchinson, Principal ACG School Jakarta dalam pertemuan virtual bertajuk #TipsSukses Keluarga Spesial yang diadakan oleh Drisana Center dalam rangka menyambut Hari Disabilitas Internasional mengatakan bahwa ada tiga prinsip yang memandu pendidikan inklusif, yakni semua anak menjadi bagian, dianggap sama dan berhak mendapatkan kesempatan serta pengalaman yang sama; semua anak belajar dengan cara berbeda; serta dimandatkan oleh PBB sebagai hak asasi manusia termasuk bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Baca juga: Pilihan Kursus untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Ia juga menjelaskan bahwa pendidikan inklusif dapat memperkuat kelebihan dan bakat individu, menumbuhkan budaya rasa hormat serta menerima perbedaan, sehingga kemungkinan terjadi bullying atau pelecehan menurun, serta membudayakan interaksi serta pertemanan yang beragam.
Sementara itu, Leliana Lianty, M.Pd., Dosen Program Studi Pendidikan Khusus FIP yang juga hadir sebagai pembicara menegaskan bahwa dalam sekolah inklusif, tidak hanya ada anak-anak berkebutuhan khusus saja, melainkan juga siswa reguler. Sehingga, anak-anak dapat kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Ia mengatakan bahwa pendidikan inklusif ini akan memberikan manfaat berupa stimulasi interaksi sosial atau kemampuan berkomunikasi sehingga anak memiliki keterampilan sosial dan kepercayaan diri yang meningkat sehingga berhasil menjadi individu yang mandiri dan berdaya.
Baca juga: Teman Untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Di dalam implementasi pendidikan inklusif, Leli mengatakan bahwa harus ada fleksibilitas. “Kita tidak bisa kaku kalau dengan anak berkebutuhan khusus,” ujarnya. Hal ini dikarenakan setiap anak memiliki kebutuhan serta tantangan masing-masing yang harus diatasi dengan pendekatan yang sesuai.
Saat ini, pendidikan inklusif sudah tersedia sejak jenjang PAUD. Intervensi sejak dini mampu meningkatkan daya hidup anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup mandiri di masyarakat.
Baca juga:
Yuk, Belajar Yoga untuk Anak Berkebutuhan Khusus!
10 Kiat Sukses Liburan dengan Anak Berkebutuhan Khusus
LTF
FOTO: FREEPIK, Dok. Parenting Indonesia
Topic
#keluarga #parentingstyle #parenting #pengasuhananak #anakberkebutuhankhusus