Menjadi Orang Tua Penegak Toleransi
Foto: Freepik
Belakangan muncul pemberitaan tentang orang tua siswa di SMA Negeri di Jawa Tengah yang melaporkan bahwa anaknya mendapat teror lewat aplikasi perpesanan instan whatsapp dari sesama siswa. Isi pesan-pesan tersebut berupa peringatan bernada paksaan agar anaknya memakai kerudung. Hal ini sebetulnya bukan narasi baru di sekolah negeri di Indonesia—yang harusnya bersifat inklusif—siapa saja, asal WNI bebas bersekolah dengan tenang di sana. Awal tahun ajaran baru 2019 lalu, sebuah SD Negeri di DI Yogyakarta juga menjadi pemberitaan berkat salah satu wali murid mengunggah ke media sosial surat edaran resmi dari sekolah yang mewajibkan semua siswa perempuannya mengenakan kerudung sebagai bagian dari seragam sekolah. Di Riau, orang tua bahkan sampai memohon anaknya yang non-muslim untuk tidak perlu memakai kerudung ke sekolah.
Tak hanya itu, beberapa hari lalu satu SD Negeri di DI Yogyakarta juga viral akibat unggahan rekaman kegiatan pramuka yang dinilai berbau SARA dari seorang wali murid. Kaget dengan aktivitas yang dianggapnya mencemari Kebhinekaan tersebut, sang wali murid lantas melapor pada salah satu pembina pramuka senior di sekolah.
Speak Up! : Manfaat Orang Tua Tegas Bicara
Beberapa contoh kasus tersebut bisa kita lihat sebagai benih-benih intoleransi. Oleh karenanya, ada satu hal yang patut diapresiasi dari para orang tua tersebut, yakni mereka menjadi orang tua yang peka terhadap hal-hal yang berisiko mencederai keberagaman dan toleransi. Lebih dari itu, mereka berani mengungkapkannya secara terbuka.
Hal tersebut sangat penting untuk tumbuh kembang dan pembentukan karakter anak-anak. Sebab, ketika mereka dekat dengan pemaksaan atau sikap diskriminatif terhadap kelompok minoritas, mereka akan tumbuh menjadi anak yang intoleran atau merasa superior. Begitu juga dengan anak-anak yang terlalu banyak terpapar dengan sentimen SARA. Sementara anak yang masuk ke dalam kelompok minoritas akan menjadi tersingkir dan bahkan rentan menerima perundungan.
Yang Bisa Dilakukan Orang Tua
Untuk mendorong terciptanya lingkungan sekolah yang kondusif bagi anak—dalam arti mempromosikan toleransi—maka orang tua juga perlu proaktif ikut memantau praktik pendidikan di sekolah dan secara aktif berdialog dengan anak-anak di rumah. Sebab, untuk menciptakan lingkungan toleran yang dapat secara positif menumbuhkan anak-anak menurut Hanlie Muliani, M.Psi, psikolog klinis pendiri Sahabat Orangtua & Anak yang juga merupakan aktivis pencegahan perundungan dibutuhkan kerjasama semua pihak, baik lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat.
Apa saja upaya tersebut?
- Bila Mendapati Penyebaran Isu atau Tindakan Diskriminatif Berkaitan dengan SARA
Hanlie menyebut bahwa untuk membicarakan hal tersebut, diperlukan komunikasi asertif dengan teknik “I message”. Komunikasi yang lebih menggunakan penekanan personal akan lebih bisa diterima ketimbang bentuk komunikasi yang reaktif seperti menyudutkan, menurut Hanlie. Ia memberikan contoh komunikasi asertif dalam hal ini, “Bapak/Ibu guru, kemarin saya dengar bapak bicara xxx. Saya kaget dengan pernyataan itu. Saya sedikit kecewa dan berharap itu tidak terulang lagi di sekolah ini.”
Bila guru yang bersangkutan tidak merespons positif, Hanlie menyarankan untuk berbicara kepada kepala sekolah atau mungkin yayasan pengelola. Bila pihak sekolah maupun yayasan juga tak merespons, Anda bisa mulai mencoba membuka obrolan dengan wali murid lainnya untuk mengumpulkan suara dan dukungan. “Bila semuanya tidak mempan, ya, dilaporkan ke yang lebih tinggi lagi secara struktural, bisa ke diknas, ya.”
- Bila Anak Anda adalah Korban
Kedua, latih anak untuk tidak terpancing emosi dan dorong mereka untuk mempraktikkan “I Message” kepada subjek pelaku. Berkaca pada kasus teror yang menimpa siswa di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, Hanlie mencontohkan komunikasi asertif I Message tersebut sebagai berikut:
“Terimakasih kamu sudah memberi tahu saya. Saya senang kamu memperhatikan kebaikan untuk saya. Saya menghargai itu dan saya harap kamu juga menghargai apa yang menjadi nilai-nilai dan keputusan saya.”
Akan tetapi, Hanlie juga tak memungkiri bahwa tak semua orang berhasil dengan komunikasi asertif macam tersebut. “Kita tidak tahu apakah reaksi anak itu akan menghargai, menghormati atau justru malah semakin mengintimidasi. Kalau ini terjadi, kita perlu laporkan kepada pihak sekolah,” ujar Hanlie.
Menurut Hanlie, yang terpenting dilakukan oleh orang tua adalah menahan diri untuk tidak ikut terpancing ke dalam lingkaran konflik anak. “Artinya orang tua jangan langung turun tangan menegur anak yang melakukan itu (tindakan intimidatif) kepada anak kita atau bahkan menegur orang tua anak tersebut.”
Membentengi Anak
“Tidak ada anak-anak yang lahir dengan membawa (sentimen) SARA kalau tidak ditanamkan,” ujar Hanlie. Oleh karenanya, untuk menjaga anak-anak dari praktik-praktik intoleransi, Hanlie menjelaskan bahwa anak-anak harus diajari berani bicara. “Karena, bagaimana pun, orang tua tidak bisa setiap hari mengontrol apa yang terjadi di sekolah. Yang sebenarnya tahu apa yang terjadi, ya, adalah anak-anak sendiri,” imbuh Hanlie.
“Tugas kita adalah bagaimana membuat anak-anak mau bicara dan punya kesadaran. Kita harus memberdayakan anak-anak untuk mengatakan tidak pada hal-hal keliru yang mereka temukan di sekolah setiap hari,” tukas Hanlie. Hal ini menurut Hanlie bisa dilakukan dengan membekali anak-anak dengan karakter mengasihi, menghargai, dan menerima orang lain apa adanya.
(Lela Latifa)