Mendiskusikan Soal Perang Sesuai Usia Anak
Hari-hari belakangan, invasi Rusia ke Ukraina banyak disiarkan di TV. Kadang, Mama dan Papa mungkin juga membicarakannya di rumah atau mengikuti perkembangannya secara online di gawai masing-masing. Anak-anak pun akhirnya terpapar dengan informasi tersebut.
Berita-berita tersebut mungkin mengundang pertanyaan bagi mereka. Tak jarang, beberapa anak yang masih kecil barangkali merasa takut melihat tayangan yang berisi gambar senjata di medan perang atau anak-anak yang terpisah dari orang tuanya.
Bagaimana cara orang tua mendiskusikan soal perang ini kepada anak-anak? Menurut psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si., Psi. yang kerap disapa Nina, cara mendiskusikan soal perang harus disesuaikan dengan usia anak.
Untuk Anak Balita
Menurut Nina, bila anak balita bertanya tentang, “Apa itu perang?” maka orang tua bisa menjawab dengan kalimat yang singkat dan mudah dipahami. “Yang kita jelaskan betul-betul sesuai pertanyaan mereka saja dan dengan kalimat sesederhana mungkin. Satu kalimat (isinya) nggak usah panjang-panjang banget.”
Nina berkata, “Balita itu belum punya pemahaman tentang negara, perang, saling bermusuhan.” Orang tua bisa memberi jawaban seperti berikut: “Itu ada orang-orang yang saling tidak setuju kemudian bertengkar.”
Penting bagi orang tua untuk menyampaikan pesan tambahan bahwa posisi anak saat ini aman. Dalam wawancara terpisah, Nina menyampaikan bahwa tayangan yang berisi tindakan agresif bisa memicu ketakutan anak-anak. “Film yang fiktif saja bisa membuat anak-anak takut, apalagi berita yang merupakan kenyataan,” ucapnya.
Untuk itu, orang tua bisa menyampaikan kepada anak: “Tapi untungnya di sini kita aman, ya. Itu lokasinya jauh dari Indonesia. Mama-Papa akan selalu menjaga kamu.”
Untuk Anak 6-9 Tahun
Anak di usia ini sudah memiliki pemahaman tentang negara. Untuk mendiskusikan tentang perang, Nina menyarankan, “Mulai dari penjelasan dua negara saling tidak setuju, kemudian marah satu sama lain tapi marahnya dengan senjata.”
Kedalaman informasi yang bisa disampaikan pun sudah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan anak balita. Akan tetapi, Nina juga mengingatkan agar orang tua tidak menggunakan bahasa yang menakut-nakuti. Orang tua harus memerhatikan temperamen bawaan anak. Sebab, walau sudah SD, ada anak-anak yang cenderung sensitif terhadap agresivitas. Dikhawatirkan mereka jadi kepikiran atau merasa takut.
Untuk Anak Praremaja
“Anak 10-12 tahun sudah lebih matang pemahamannya,” ujar Nina. Ia menambahkan, “Kalau dengan anak praremaja, kita bisa bicara konsep-konsep yang lebih kompleks.”
Nah, untuk anak usia ini, Nina justru menyarankan orang tua untuk menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan yang lebih memberdayakan anak. Ketika anak membicarakan soal berita invasi, orang tua justru bisa bertanya balik pada anak, “Menurutmu sendiri bagaimana, apa yang kamu dengar? Menurutmu apa yang harus dilakukan bila ada ketidasepakatan?”
Jadi, untuk usia ini, orang tua benar-benar bisa membuka pintu diskusi. Bahkan, Anda bisa mengajak anak membaca atau menonton berita bersama. “Tapi kalau bisa baca beritanya yang sudah kita baca duluan, atau dampingi anak saat membaca atau menonton. Jangan sampai apa yang dia ketahui dan dia dengar adalah info-info yang kurang tepat.” Anak Juga Bisa Diajarkan Mengenali Berita Hoax di Internet, jadi diskusi ini bisa jadi salah satu jembatannya.
Baca juga:
4 Kesalahan yang Harus Dihindari Saat Mengajak Anak Nonton Film
Lakukan 3 Hal Ini Setelah Mengajak Anak Menonton Film
Squid Game Bukan untuk Anak-Anak, Orang Tua Jangan Kecolongan
Politik Itu Apa, Sih, Ma, Pa?
6 Nilai yang Dapat Dipelajari Anak dari Diskusi tentang Politik
6 Kesalahan Orang Tua Membicarakan Politik dengan Anak (Bagian 1)
6 Kesalahan Orang Tua Membicarakan Politik dengan Anak (Bagian 2)
Lela Latifa
Foto: Freepik
Topic
#keluarga #parenting #parentingstyle #pengasuhananak