Aturan Titip Anak pada Nenek Kakek
Di Indonesia, menitipkan anak kepada nenek atau kakek dianggap wajar dan banyak terjadi. Padahal, tahukah Anda, Ma, bahwa nenek dan kakek sebenarnya bukanlah pengasuh terbaik untuk anak. Mama dan Papa lah pengasuh terbaik untuk anak. Namun, ketika Mama dan Papa tak bisa mengasuhnya satu hari penuh karena berbagai alasan, bukan berarti tugas tersebut layak dilimpahkan kepada orang tua Anda, lho. Berikut alasannya.
Tak Didesain untuk Mengasuh
Karena kita adalah masyarakat yang senang berkumpul, maka bukan hal aneh, jika kita melihat kakek atau nenek momong cucu, atau tante dan bude mengasuh keponakan. Tetapi, menurut psikolog klinis Elizabeth Santosa, M.Psi., yang biasa disapa Lizzie, kita sering lupa bahwa usia orang tua kita (kakek dan nenek) sebenarnya sudah tak selaras lagi dengan anak yang masih balita. “Perbedaan usia mereka terlampau jauh. Pola asuh yang dimiliki oleh kakek dan nenek sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan anak saat ini. Pola asuh mereka mungkin cocok untuk Anda 20 atau 30 tahun yang lalu, tetapi tidak untuk masa sekarang,” tutur psikolog cantik yang juga menjabat sebagai komisioner pada Komisi Nasional Perlindungan Anak itu.
Ditambah lagi, tubuh kakek dan nenek tidak didesain untuk mengejar-ngejar cucu. Mereka sudah tua, tak sekuat Anda yang mungkin masih berumur 20 atau 30 tahun. “Jika Anda memutuskan menitipkan anak di rumah kakek/nenek, maka yang terbaik adalah menyediakan pengasuh khusus untuk anak. Biarkan kakek/nenek hanya bertugas sebagai pengawas bagi si pengasuh. Tugas lain, seperti memandikan, menyuapi, dan mengejar-ngejar anak, adalah tugas orang tua (Anda) yang bisa didelegasikan kepada pengasuh,” kata Lizzie yang juga adalah mama 3 anak.
Di saat-saat tertentu, misal jika pengasuh sakit atau mudik, carilah jalan tengah yang tak merepotkan kakek dan nenek. Misal, mencari infal (pengasuh pengganti), Anda mengambil cuti, atau setidaknya, siapkan semua meninggalkan ia bersama kakek/nenek. Jadi, jangan sampai menyusahkan mereka, baik secara fisik maupun finansial.
Perbedaan Pola Asuh
Jangan heran kalau Anda sering menemukan ‘bentrok’ antara mama dan nenek. Contohnya, “Duh, anakku jadi suka meniru lagu dangdut gara-gara si Oma di rumah nontonnya lagu-lagu dangdut terus.” Atau, “Gimana, ya, caranya melarang Nenek nonton sinetron, kalau anak lagi ada di rumah? Takutnya anak nanti meniru-niru adegan kekerasannya.” Familier dengan keluhan itu, Ma? Atau, jangan-jangan Anda salah satu mama yang kerap melontarkan keluhan tersebut? Menurut Lizzie, tidak adil jika Anda melarang oma/opa atau kakek/nenek melakukan hal-hal yang mereka sukai di masa tua mereka.
“Barangkali menonton sinetron yang penuh drama menyedihkan, atau mendengarkan lagu dangdut, adalah hiburan yang dahulu tak pernah sempat mereka nikmati karena kesibukan mengurus Anda, anaknya. Masa, sih, di saat anak-anak mereka sekarang sudah mandiri dan berkeluarga, mereka masih juga dituntut mengurus cucu dan mengorbankan hal-hal yang disukai?” ujar Lizzie.
Jadi, harus bagaimana, dong? Boleh saja Anda menyampaikan keberatan Anda itu kepada kakek dan nenek, dengan mengemukakan alasan bahwa efek sinetron tak baik bagi perkembangan anak. Tetapi, katakan dengan sopan, dan berikan solusi yang tidak merugikan siapa pun. Misal, “Ma, kalau ada cucu, nonton sinetronnya di kamar saja, ya. Atau, kalau ia lagi tidur siang.” Jika tak berhasil juga, pilihannya hanya dua: Berhenti menitipkan anak kepada kakek/neneknya, atau Anda terima saja konsekuensinya.
Risiko Konflik dengan Pengasuh
Atas dasar tak mau merepotkan kakek dan nenek, akhirnya Anda pun menyediakan pengasuh untuk anak. Tetapi dengan catatan, pengasuh tersebut harus diawasi oleh sang nenek. Lalu, selesaikah masalahnya? Belum tentu, karena selalu ada kemungkinan si pengasuh berkonflik dengan kakek atau nenek. “Bu, adek belum makan sore. Biasanya, kan, adek cuma mau makan kalau disuapi sambil digendong dan diajak jalan jalan. Tetapi tadi Oma marah, katanya adek nggak boleh disuapi sambil digendong dan diajak jalan-jalan.” Mungkin Anda juga pernah mendapat aduan seperti itu dari pengasuh anak sepulang kerja. Dan kemudian masih ditambah lagi dengan aduan dari pihak nenek, “Si Mbak harus diajari, tuh, kalau anak makan itu harus duduk di highchair, bukannya digendong dan dibawa jalan-jalan.”
Anda paham bahwa semua yang dilakukan si mbak kepada anak pastilah atas dasar persetujuan atau sepengetahuan Anda. Begitu juga soal menyuapi sambil digendong dan jalan-jalan. Kalau tidak begitu, anak bakalan susah membuka mulutnya untuk disuapi. Tetapi, di sisi lain, Anda juga tahu maksud nenek adalah baik. Kebiasaan makan yang baik, yaitu makan sambil duduk di meja makan, sebaiknya ditanamkan kepada anak sejak dini. Nah, di sinilah Anda harus menjadi penengah yang baik untuk si mbak pengasuh dan nenek. Menurut Lizzie, perbedaan pendapat antara nenek dan si mbak sah-sah saja. Namun, yang jadi persoalan, kadang perbedaan pendapat itu tidak disampaikan dengan baik, sehingga pada akhirnya memicu konflik. “Anda sebagai mediator bagi si mbak dan nenek, harus fokus kepada solusi. Utamakan bukti setiap kali mencari fakta, dan hindari nada bicara yang tinggi karena bisa menyinggung perasaan mereka. Bukankah Anda membutuhkan keduanya?” kata Lizzie.
Satu hal lagi yang juga perlu Anda ingat, karakter orang yang sudah tua itu biasanya lebih solid, sulit diubah. Itulah yang membuat mereka kadang menjadi tidak fleksibel terhadap aturan atau kebiasaan. Jadi, tak ada salahnya jika Anda sedikit ‘memohon’ kepada si mbak agar menyediakan stok pengertian yang agak lebih banyak ketika ia dan anak dititipi di rumah kakek/nenek. Sebaliknya, mintalah pengertian orang tua Anda juga untuk lebih fleksibel kepada pengasuh anak, selama tak membahayakan anak, atau tak ada hal-hal prinsip yang dilanggar. Katakan bahwa pengasuh ini sangat dibutuhkan oleh Anda untuk membantu menjaga anak, tanpa mengecilkan peran kakek dan nenek yang ‘hanya’ mengawasi.
Ada caranya agar Anda bisa mengakhiri adu pendapat dengan kakek nenek si kecil. Klik artikel ini agar hubungan antara Anda dan kakek nenek tetap adem ayem.