Apakah Anda Termasuk Mama yang Selalu Menuruti Anak?
Menyenangkan hati anak tidak sama dengan menuruti setiap permintaannya. Coba cek beberapa kasus di bawah ini, apakah Anda termasuk salah satu yang melakukannya? Simak juga kata pakar, Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, S.Psi., Psi., psikolog anak, remaja, dan keluarga.
1. Tidak Jadi Bekerja
“Mama boleh berangkat kerja dulu, nggak?” Dan, ketika anak mendekap Anda, sambil bilang, “Tidak,” Anda langsung berpikir untuk meminta izin tak masuk kantor.
Kata psikolog: Pada dasarnya, tidak ada anak yang senang berpisah dengan mamanya. Sebaiknya, yang diajukan kepada anak bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan. Namun sebelum itu, Anda sudah harus mantap dengan keputusan akan berangkat kerja.
Bila ada keraguan, anak dapat merasakan, sehingga ia memberikan respons negatif. Penjelasan kepada anak memang perlu, tetapi gunakan bahasa sederhana yang dapat diterima. Misalnya, "Mama bekerja agar kita bisa jalan-jalan ke tempat kesukaanmu."
Penting juga menjelaskan kepadanya tentang lokasi, jam kerja, dan pekerjaan yang Anda lakukan. Selain itu, jelaskan juga kepada anak mengenai aktivitas yang bisa ia lakukan selama Anda bekerja. Ini penting agar anak merasa aman.
Baca juga: Anak Marah Saat Mama Bekerja? Ini Solusinya!
2. Menunggu di Sekolah
Hampir setiap hari, anak harus ditunggui di sekolah. Kalau tidak dituruti, ia mengambek dan tidak mau sekolah. Anda pun menuruti keinginannya. “Kasihan kalau tidak saya tunggui di sekolah,” kata Anda.
Kata psikolog: Kondisi seperti ini kerap dilatarbelakangi rasa tidak percaya Anda kepada sekolah. Akibatnya, Anda jadi tak tenang saat meninggalkan anak.
Rasa waswas ini tertangkap oleh anak, lalu menjadi ‘penyubur’ bagi rasa cemasnya. Ia pun tertular rasa khawatir dan takut ditinggal.
Bicarakan hal ini dengan pihak sekolah, dan diskusikan dengan guru mengenai hal-hal yang dapat membuat anak tenang, saat tidak ditemani Anda. Dengan cara itu, proses memuluskan ketergantungan akan keberadaan mama di sekolah dapat berjalan lancar.
Baca juga: Kenalkan Butterfly Hug pada Anak untuk Redakan Kecemasan
3. Pilih-Pilih Makanan
Anak hanya mau mengonsumsi makanan yang ia sukai. Anda pun mengalah dan hanya menyajikan makanan favoritnya, setiap hari.
Kata psikolog: Anak boleh saja memiliki makanan favorit. Namun, tidak berarti hal ini jadi konsumsi wajib ada di menu setiap hari.
Terlebih bila makanan kesukaannya itu minim serat dan nutrisi. Demi pemenuhan nutrisi, para ahli gizi menyarankan agar anak mengonsumsi makanan bervariasi setiap hari. Tentu Anda ingin membuatnya bahagia.
Namun, pikirkan juga untuk tidak hanya membuat ia senang ‘hari ini’, melainkan memberikan aset kesehatan yang bisa dinikmati hari ini dan nanti.
Tetap usahakan mengenalkan berbagai variasi makanan, meski awalnya ia hanya sebatas melihat, mengendus aroma, atau menyicip sedikit. Berikan waktu untuk ia beradaptasi. Selalu ingat bahwa kelak ia akan hidup di tengah orang-orang yang mungkin tak bisa selalu memenuhi keinginannya.
Baca juga: 6 Tip Negosiasi dengan Anak
4. Mengkritik di Depan Umum
Suatu kali, seorang tante mengenakan pakaian yang kurang fashionable. Saat melihat hal itu, anak dengan jujur mengutarakan ketidaksukaannya di depan umum.
Kata psikolog: Anak bisa belajar berperilaku seperti ini karena ada contoh. Mungkin ia meniru teman-temannya, paparan TV, atau mungkin Anda sendiri.
Orang tua perlu jeli melihat sumbernya, dan diskusikan untuk mengatasi hal tersebut. Sementara itu, berikan ia contoh cara mensyukuri atau menerima apa yang ia miliki.
Jika anak berperilaku kurang sopan, Anda perlu menegur dan membahasnya bersama anak. Tentu tidak dilakukan secara langsung atau saat itu juga, melainkan setelah tidak ada orang lain. Tunjukkan bahwa ada batasan dalam berespons terhadap segala hal, dan perilakunya itu bisa menyakiti hati orang lain.
5. Pandai ‘Mengarang Cerita’
Suatu kali anak mulai pandai ‘mengarang cerita’ alias berbohong. Misalnya, ia minta izin ke kamar kecil karena sakit perut, padahal ia bosan di kelas. Anda mengetahui hal tersebut, tetapi tidak tega menegurnya.
Kata psikolog: Bila Anda terbiasa memberikan reward anak untuk perilaku tertentu yang menyenangkan, maka anak akan termotivasi.
Jika dengan berbohong, anak dapat lolos dari suatu kewajiban, atau menemukan hal yang menyenangkan, maka bersiaplah Anda akan menghadapi kebohongan demi kebohongan berikut.
Maka itu, saat Anda tahu anak berbohong, sebaiknya Anda menegur dan mencari tahu penyebab ia tidak betah di kelas, bukan dengan membiarkannya meninggalkan kelas.
Individu dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab merupakan hasil pembinaan sejak anak usia dini.
Baca juga: Kenapa Anak Kecil Berbohong? Ini 5 Penyebab yang di Luar Dugaan
6. Nomor Satu Adalah Izinnya
Saat hendak pergi arisan atau hang out dengan teman-teman, Anda selalu harus minta izin kepada anak. Jika ia tidak membolehkan, ya, Anda tidak jadi pergi.
Kata psikolog: Prinsipnya hampir sama dengan kasus pergi bekerja, pada dasarnya anak tidak senang berpisah dengan Anda. Jadi, buat kalimat pernyataan, bukan permintaan izin.
Misalnya, “Nak, Mama mau pergi bertemu teman-teman dulu, ya.” Namun, sebelum pergi, Anda perlu memastikan, anak ada yang menemani di rumah, dan tersedia makanan untuk dirinya. Usahakan pula, ketika Anda pergi, anak juga senang, atau punya aktivitas lain yang menyenangkan. Misalnya, ia bisa bermain di luar bersama teman-temannya, ditemani pengasuh atau orang yang bertanggung jawab terhadap dirinya selama Anda pergi.
Baca juga: Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 1)
Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 2)
Jika Selalu Dituruti…
Ini kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, bila ia bertingkah laku seenaknya terus:
Baca juga:
Inspirasi Para Mama Ajarkan Kasih Sayang pada Anak
Seni Bernegosiasi dengan Anak
Anak Takut Mengaku Salah
Foto: 123rf
Updated: Juni 2022
1. Tidak Jadi Bekerja
“Mama boleh berangkat kerja dulu, nggak?” Dan, ketika anak mendekap Anda, sambil bilang, “Tidak,” Anda langsung berpikir untuk meminta izin tak masuk kantor.
Kata psikolog: Pada dasarnya, tidak ada anak yang senang berpisah dengan mamanya. Sebaiknya, yang diajukan kepada anak bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan. Namun sebelum itu, Anda sudah harus mantap dengan keputusan akan berangkat kerja.
Bila ada keraguan, anak dapat merasakan, sehingga ia memberikan respons negatif. Penjelasan kepada anak memang perlu, tetapi gunakan bahasa sederhana yang dapat diterima. Misalnya, "Mama bekerja agar kita bisa jalan-jalan ke tempat kesukaanmu."
Penting juga menjelaskan kepadanya tentang lokasi, jam kerja, dan pekerjaan yang Anda lakukan. Selain itu, jelaskan juga kepada anak mengenai aktivitas yang bisa ia lakukan selama Anda bekerja. Ini penting agar anak merasa aman.
Baca juga: Anak Marah Saat Mama Bekerja? Ini Solusinya!
2. Menunggu di Sekolah
Hampir setiap hari, anak harus ditunggui di sekolah. Kalau tidak dituruti, ia mengambek dan tidak mau sekolah. Anda pun menuruti keinginannya. “Kasihan kalau tidak saya tunggui di sekolah,” kata Anda.
Kata psikolog: Kondisi seperti ini kerap dilatarbelakangi rasa tidak percaya Anda kepada sekolah. Akibatnya, Anda jadi tak tenang saat meninggalkan anak.
Rasa waswas ini tertangkap oleh anak, lalu menjadi ‘penyubur’ bagi rasa cemasnya. Ia pun tertular rasa khawatir dan takut ditinggal.
Bicarakan hal ini dengan pihak sekolah, dan diskusikan dengan guru mengenai hal-hal yang dapat membuat anak tenang, saat tidak ditemani Anda. Dengan cara itu, proses memuluskan ketergantungan akan keberadaan mama di sekolah dapat berjalan lancar.
Baca juga: Kenalkan Butterfly Hug pada Anak untuk Redakan Kecemasan
3. Pilih-Pilih Makanan
Anak hanya mau mengonsumsi makanan yang ia sukai. Anda pun mengalah dan hanya menyajikan makanan favoritnya, setiap hari.
Kata psikolog: Anak boleh saja memiliki makanan favorit. Namun, tidak berarti hal ini jadi konsumsi wajib ada di menu setiap hari.
Terlebih bila makanan kesukaannya itu minim serat dan nutrisi. Demi pemenuhan nutrisi, para ahli gizi menyarankan agar anak mengonsumsi makanan bervariasi setiap hari. Tentu Anda ingin membuatnya bahagia.
Namun, pikirkan juga untuk tidak hanya membuat ia senang ‘hari ini’, melainkan memberikan aset kesehatan yang bisa dinikmati hari ini dan nanti.
Tetap usahakan mengenalkan berbagai variasi makanan, meski awalnya ia hanya sebatas melihat, mengendus aroma, atau menyicip sedikit. Berikan waktu untuk ia beradaptasi. Selalu ingat bahwa kelak ia akan hidup di tengah orang-orang yang mungkin tak bisa selalu memenuhi keinginannya.
Baca juga: 6 Tip Negosiasi dengan Anak
4. Mengkritik di Depan Umum
Suatu kali, seorang tante mengenakan pakaian yang kurang fashionable. Saat melihat hal itu, anak dengan jujur mengutarakan ketidaksukaannya di depan umum.
Kata psikolog: Anak bisa belajar berperilaku seperti ini karena ada contoh. Mungkin ia meniru teman-temannya, paparan TV, atau mungkin Anda sendiri.
Orang tua perlu jeli melihat sumbernya, dan diskusikan untuk mengatasi hal tersebut. Sementara itu, berikan ia contoh cara mensyukuri atau menerima apa yang ia miliki.
Jika anak berperilaku kurang sopan, Anda perlu menegur dan membahasnya bersama anak. Tentu tidak dilakukan secara langsung atau saat itu juga, melainkan setelah tidak ada orang lain. Tunjukkan bahwa ada batasan dalam berespons terhadap segala hal, dan perilakunya itu bisa menyakiti hati orang lain.
5. Pandai ‘Mengarang Cerita’
Suatu kali anak mulai pandai ‘mengarang cerita’ alias berbohong. Misalnya, ia minta izin ke kamar kecil karena sakit perut, padahal ia bosan di kelas. Anda mengetahui hal tersebut, tetapi tidak tega menegurnya.
Kata psikolog: Bila Anda terbiasa memberikan reward anak untuk perilaku tertentu yang menyenangkan, maka anak akan termotivasi.
Jika dengan berbohong, anak dapat lolos dari suatu kewajiban, atau menemukan hal yang menyenangkan, maka bersiaplah Anda akan menghadapi kebohongan demi kebohongan berikut.
Maka itu, saat Anda tahu anak berbohong, sebaiknya Anda menegur dan mencari tahu penyebab ia tidak betah di kelas, bukan dengan membiarkannya meninggalkan kelas.
Individu dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab merupakan hasil pembinaan sejak anak usia dini.
Baca juga: Kenapa Anak Kecil Berbohong? Ini 5 Penyebab yang di Luar Dugaan
6. Nomor Satu Adalah Izinnya
Saat hendak pergi arisan atau hang out dengan teman-teman, Anda selalu harus minta izin kepada anak. Jika ia tidak membolehkan, ya, Anda tidak jadi pergi.
Kata psikolog: Prinsipnya hampir sama dengan kasus pergi bekerja, pada dasarnya anak tidak senang berpisah dengan Anda. Jadi, buat kalimat pernyataan, bukan permintaan izin.
Misalnya, “Nak, Mama mau pergi bertemu teman-teman dulu, ya.” Namun, sebelum pergi, Anda perlu memastikan, anak ada yang menemani di rumah, dan tersedia makanan untuk dirinya. Usahakan pula, ketika Anda pergi, anak juga senang, atau punya aktivitas lain yang menyenangkan. Misalnya, ia bisa bermain di luar bersama teman-temannya, ditemani pengasuh atau orang yang bertanggung jawab terhadap dirinya selama Anda pergi.
Baca juga: Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 1)
Kalimat Efektif Berkomunikasi dengan Anak (Part 2)
Jika Selalu Dituruti…
Ini kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, bila ia bertingkah laku seenaknya terus:
- Ada life skill yang tidak terlatih, misalnya kemandirian, belajar mengatasi emosi saat ditinggal mama.
- Anak belajar cara tertentu untuk mendapatkan keinginannya dengan mudah, misalnya mengambek.
- Anak jadi rentan frustrasi ketika bertemu kesulitan atau batasan.
- Tanyakan ini ke diri sendiri, bila masih terus tidak tega:
- Apa efek jangka panjangnya pada anak.
- Mau sampai kapan orang tua akan ‘berkorban’ untuk anak?
- Happy parents produce happy kids. Anda benar-benar happy dengan pengorbanan Anda?
Baca juga:
Inspirasi Para Mama Ajarkan Kasih Sayang pada Anak
Seni Bernegosiasi dengan Anak
Anak Takut Mengaku Salah
Foto: 123rf
Updated: Juni 2022
Topic
#duniamama