Disiplin warisan mama
Sejak kecil hubunganku dengan mama tak pernah terlalu dekat. Bukan karena aku merasa mama tidak sayang padaku. Mama justru begitu sempurna di mataku. Dia mengurus aku dan adikku dengan baik, begitu penuh cinta dan pengorbanan. Ketika duduk di bangku SD, dan semua kawan memiliki saputangan dengan karakter kartun yang populer saat itu, aku pulang dengan merajuk, ingin punya saputangan yang sama. Mama membelai rambutku penuh kasih dan berjanji memberiku saputangan yang lebih bagus.
Keesokan harinya sebelum aku berangkat sekolah, mama memberiku saputangan bercorak bunga kecil-kecil dengan renda terjahit rapi di keempat sisinya. Aku senang bukan kepalang. Kawan-kawanku pun iri pada sapu tanganku itu. Setelah dewasa aku baru tahu, untuk saputangan itu, mama rela merobek rok terbaiknya! Mama juga selalu memperhatikan gizi kami, dan membuatkan makanan terbaik, meski kondisi keuangan saat itu tak bisa dibilang cukup. Buah dan sayuran pasti ada setiap hari. Setiap hari Minggu, kami tak pernah diam di rumah. Ada saja tempat yang kami tuju untuk menikmati indahnya hari Minggu setelah 6 hari bersekolah. Ke Taman Ria, ke Kebun Binatang, ke Puncak, atau berenang ke Ancol. Itulah yang selalu membuat aku dan adikku bertanya-tanya, “Hari Minggu berapa hari lagi, Mam?”
Itulah mama.... Di hati dan pikirannya tak ada lain selain membahagiakan kami. Meski untuk itu, mama harus rela tak membeli apa-apa untuk dirinya sendiri. Walau menyayangi mama, kadang komunikasi kami tak terjalin mesra. Mama seorang Ceko asli dengan didikan disiplin luar biasa keras, sehingga dia pun menerapkan disiplin yang keras kepada kami. Setiap menit keterlambatan harus bisa kami pertanggungjawabkan. Tak jarang, pukulan dengan selang penyiram tanaman yang dipotong sekitar 30 cm menghujani kaki bila kami melanggar disiplin. Lambat laun, rasa sakit di kaki itu naik, dan membeku di hati. Pikiran remaja yang jarang disertai logika mulai berkecamuk. Mama galak. Mama jahat. Mama tak sayang pada kami. Kami mulai membandingkan cara mama dan papa bersikap.
Papa seorang Jawa yang teramat lembut, yang tak pernah bicara dengan nada keras. Papa tak pernah marah, kecuali kami bicara dengan kata-kata yang tak pantas. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan cabai yang sudah dibelah akan jadi lipstik kami. Dengan papa, kami bisa bercerita panjang lebar tanpa ada interupsi “Seharusnya kamu tidak begitu” atau “Kan mama udah bilang...” dan masih banyak kalimat interupsi lain yang bikin kami malas bercerita. Dengan papa, kami bisa tenang berlindung dari sikap galak dan keras mama. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kedewasaanku, aku mulai mengerti sikap mama.
Memang tak mudah menjalani hidup di negara orang dengan semua hal yang begitu jauh berbeda. Memang tak mudah mengurus dua anak nakal dan aktif seperti kami. Tak mudah menjadi ibu rumah tangga yang 100% waktu dihabiskan di rumah mengurus anak-anak, rumah tangga, suami, dapur, dan terus berkutat dalam lingkaran yang sama bertahun-tahun. Mama nyaris tak sempat meluangkan waktu untuk diri sendiri. Tanpa uang yang bisa dibelikan sekadar barang kecil untuk pemuas hati mama karena keuangan yang selalu pas-pasan. Tanpa bisa menghibur diri ke bioskop atau ke kafe seperti di masa lajang, karena papa tak suka kegiatan seperti itu. Tanpa bisa hang out bersama kawan, karena mama tak bisa nyetir dan tak hafal jalan. Untuk semua itu, mama sangat tergantung kepada papa, dan itu berlangsung sampai sekarang. Kini bisa kumengerti semua rasa frustrasi mama, kesepian mama, rasa jenuh mama yang kadang menjadikan dia begitu galak di mata kami. Kini bisa kumengerti kenapa mama begitu keras mengajar kami untuk disiplin. Tanpa disiplin, kami mungkin tak akan bisa menghargai waktu dan bekerja dengan baik. Tanpa disiplin kami tak akan punya aturan hidup. Tanpa disiplin kami akan tumbuh jadi anak-anak yang seenaknya. Berkat kedisiplinan mama, setelah dewasa, aku dan adikku begitu menghargai setiap menit yang terbuang sia-sia dalam kehidupan kami. Kami begitu takut datang terlambat ke lokasi syuting dan membuat orang lain menunggu. Kami begitu teratur menjalani setiap langkah untuk bisa membedakan hitam dan putih. Semua ini takkan terjadi seandainya mama dulu tak begitu keras berusaha menanamkan arti disiplin dalam hidup kami. Kini usiaku 33 tahun. Anakku dua orang. Kegagalan pernikahan pertama membuatku tinggal terpisah dengan Joshua, sulungku, 11 tahun, dan hanya bertemu setiap kali masa libur datang. Mengurus si bungsu Nicolle (1 tahun) pun butuh banyak perjuangan. Meski aku dibantu babysitter, tak pernah sedetik pun kutinggalkan Nicolle hanya berdua dengan pengasuhnya di rumah, tanpa ada aku atau anggota keluarga lain. Berbagai hal buruk yang kulihat di TV membuatku takut meninggalkan Nicole hanya dengan pengasuh atau pembantu di rumah. Setiap kali jadwal syuting datang, atau aku harus pergi tanpa bisa membawa Nicolle, hanya satu orang yang bisa kutelepon dan kumintai bantuan, mama. Tanpa pernah mengeluh, mama selalu akan datang sepagi apa pun kuminta, untuk menjaga cucunya. Dengan sisa uangnya setiap bulan, dengan sisa tenaganya setelah mengurus rumah tangga, mama akan membuatkan kue kering yang sehat untuk Nicolle. Kini setelah ada Nicolle, aku jadi sering bertemu mama, yang datang untuk menjaga Nicolle saat aku syuting. Tanpa Nicolle, tak mungkin aku bisa begitu sering bertemu mama, karena sebelum Nicolle lahir, biasanya aku hanya bertemu mama 3 bulan sekali. Ah mama, bahkan sampai kini pun aku masih merepotkan dia. Mama yang saat remaja dulu tak bisa kumengerti mengapa begitu keras dan galak. Mama yang saat remaja dulu adalah ‘musuh’ utamaku. Mama yang dulu kukira tak bisa melihatku bahagia. Ternyata aku salah besar menilai mama. Dengan sikapnya yang keras dia mendidik kami anak-anaknya untuk bisa menjadi seperti sekarang. Dibalik sikap kerasnya, ternyata hatinya begitu mulia. Mungkin memang butuh waktu untuk bisa mengerti orang lain. Kadang kita bahkan perlu berada di posisi yang sama dengan orang itu untuk bisa mengerti sikapnya. Setelah kini aku menjadi istri yang 60% waktu kuhabiskan di rumah karena tak tega meninggalkan Nicolle terlalu sering, aku sangat mengerti apa yang dulu dirasakan mama. Beruntung dari segi keuangan aku sekarang jauh lebih baik dibanding mama dulu. Suami ku pun tak sekaku papa yang besar dalam masa penjajahan. Mas Arie masih sering mengajak hang out ke mal sekadar untuk melepas kejenuhan. Mama, aku tak akan pernah bisa membalas semua jasa mama padaku. Hanya satu kalimat yang bisa melukiskan seluruh perasaanku... I love you, Mom!
PAR 0407