Agar Anak Tak Bergantung pada Pengasuh
Sudah jadi naluri orang tua untuk membantu dan memenuhi semua kebutuhan anak. Saat mama tak ada di sisi anak, di sinilah peran asisten rumah tangga atau pengasuh diperlukan. Mulai dari mandi, pakai baju, makan, hingga minum, anak tinggal tahu beres, karena semua sudah dilakukan oleh si mbak. Terlalu mencintai anak, begitulah alasan mama ketika membiarkan si mbak melakukan segalanya untuk anak. “Kasihan ia, jika harus membawa tas sekolah seberat itu.” Atau, “Ia, kan, masih kecil, tangannya belum kuat memegang gelas. Bagaimana kalau nanti gelasnya jatuh dan melukai kakinya?”
Ya, mama punya banyak pembenaran. Namun, berikan ia kesempatan, sebagai langkah awal mengajarkan kemandirian kepada anak. Biarkan ia melakukan berbagai hal yang ingin dan boleh dilakukan anak seusianya. Sedikit kilas balik saat anak berusia 6 bulan, saat tangan anak mulai menggapai-gapai untuk meraih sesuatu. Pada saat tersebut, ia sudah belajar untuk mandiri.
Kemudian, ketika usianya 1 tahun, anak sudah bisa memasukkan sendok ke mulutnya. Tak ada salahnya membiarkan ia belajar makan sendiri. Bukan berarti, Anda sama sekali tak boleh menyuapinya. Tetapi, beri si kecil kesempatan melatih kemampuan makannya sendiri. “Kadang, orang tua enggan membiarkan anaknya makan sendiri dengan alasan takut jadi berantakan dan belepotan. Padahal, hal ini justru akan menghambat kesempatan anak untuk menjadi mandiri,” kata psikolog Nessi Purnomo, M.Psi.
Tak masalah, jika semua hal yang dilakukan anak masih jauh dari kategori sempurna. Anggap saja semua berantakan dan keribetan yang Anda dan anak alami merupakan proses menuju kemandirian yang seutuhnya. Kadangkala, orangtualah yang justru menjadi penghambat kemandirian si kecil karena merasa tak tega membiarkan anaknya berusaha sendiri. Anda berpikir bahwa anak masih terlalu kecil untuk melakukan segalanya sendiri. Padahal, memberikan sedikit kesempatan kepadanya memungkinkan ia untuk belajar berusaha sendiri.
Ketika anak sudah bersekolah, pelajaran tentang kemandirian yang bisa Anda ajarkan kepadanya menjadi lebih banyak lagi, dimulai dengan latihan berpakaian, memakai sepatu, hingga membawa tas sekolahnya sendiri. “Banyak orang tua yang tidak sabar pada tahap ini. Mereka gemas, jika harus menunggu lama anak kelar melakukan semua ritual ini. Padahal, ini proses penting yang harus dilalui anak,” jelas Nessi. Takut anak malah jadi terlambat masuk sekolah? Anda bisa membangunkan anak lebih pagi dan melakukan ini semua lebih awal, kan, Ma?
SAMAKAN PERSEPSI
Mengajarkan kemandirian kepada anak, tentu harus didukung oleh semua anggota keluarga, termasuk asisten Anda. Sejak awal, samakan persepsi antara Anda dan si mbak. “Ketika hadir tenaga tambahan di rumah, mama pasti berharap semua pekerjaan di rumah akan beres. Tetapi, ‘beres’ yang seperti apa? Dalam pikiran para mbak, yang dimaksud ‘beres’ itu mungkin ketika anak majikannya tidak rewel, tidak membuat rumah jadi berantakan, dsb. Sehingga, para mbak memilih melakukan segala hal yang diminta si kecil, termasuk mengambilkannya minum, menyuapi, hingga membawakan tas sekolahnya,” jelas Nessi.
Nah, perbedaan persepsi inilah yang harus Anda atasi. Nessi menyarankan Anda melakukan semacam training kepada si mbak sebelum memulai tugasnya. “Kalau Anda ingin anak terbiasa pakai baju dan sepatu sendiri, katakan kepada mbak bahwa anak harus melepas pakaian seragam dan
sepatunya sendiri sepulang sekolah. Mbak tidak boleh membantu. Kemudian ketika Anda dan suami ada di rumah pada malam hari, giliran Anda berdua yang mengasuh anak. Biarkan mbak mengamati secara langsung pola asuh yang Anda terapkan pada anak. Dengan begitu, si mbak bisa menirunya ketika giliran ia yang menjaga anak,” kata Nessi.
Pendekatan tak hanya dilakukan kepada si mbak, tetapi juga kepada anak. Sejak kehadiran si mbak pertama kali, atau kalau bisa sebelumnya, jelaskan kepada anak akan status mbak di rumah. Katakan bahwa si mbak hanya bertugas membantu pekerjaan-pekerjaan tertentu di rumah. Jadi, tidak bisa anak meminta semua bantuan kepadanya.
Pembatasan wewenang anak untuk meminta bantuan kepada mbak tak hanya bertujuan untuk menghargai si mbak, tetapi juga untuk menghindari ketergantungan anak kepada mbak di kemudian hari, yang bisa membuat anak jadi manja dan tidak bisa mandiri. Bila keterusan, anak akan meminta segala pertolongan kepada pembantu dan tidak mau melakukan apa pun sendiri, termasuk mengambil sepatu atau membawa tas sekolahnya.
BOLEH BERIKAN REWARD
Seiring pertambahan usia anak, Nessi menyarankan agar anak diberi tantangan atau tugas yang lebih rumit. Tujuannya mencegah anak menjadi bosan, sekaligus meningkatkan keragaman keterampilan anak. Misal, jika anak sudah mahir makan sendiri menggunakan sendok dan garpu, kini saatnya beralih menggunakan sumpit.
Ketika anak perlahan sudah mulai menunjukkan kemandiriannya, sah-sah saja jika Anda ingin memberi ia semacam reward. Tetapi, hati-hati dengan reward yang bersifat situasional. Menurut Nessi, sering kali orang tua terjebak memberikan reward situasional. Misalnya, meminta anak mandi sendiri dengan embel-embel akan dibelikan sesuatu sesudahnya. Yang benar, berikan reward ketika anak sudah konsisten menunjukkan kemandiriannya, ketika ia sudah berhasil mandi sendiri tanpa bantuan mbak selama 2 minggu berturut-turut, dan akan berlangsung begitu seterusnya. “Reward seperti inilah yang disarankan, karena jauh lebih efektif untuk memacu semangat anak,” kata Nessi. Jadi, pastikan Anda memberi banyak kesempatan kepada anak untuk melakukan hal-hal yang ia sudah mampu lakukan. Itulah kunci membantu anak memiliki karakter mandiri, percaya diri, dan mampu mengerjakan segala sesuatu dengan tanggung jawab penuh. (foto: fotosearch)
Baca juga :
11 Hal Ini Latih Anak Mandiri Tanpa Bantuan Pengasuh
4 Tip Atur Rumah Tanpa Asisten Rumah Tangga