Sekolah bagi si anak istimewa
Setelah terdeteksi autis, anak tentu membutuhkan penanganan khusus. Tapi, sejauh mana ia siap untuk bersekolah di sekolah umum? Berikut sejumlah saran dari Dyah Puspita, psikolog dan sekretaris Yayasan Autisme Indonesia (YAI) yang perlu dipertimbangkan:
- Bila modal si anak dari awal sudah ’kurang’, atau kondisi autistiknya memang lebih parah, tak bisa bicara misalnya, sebaiknya dia memang tak dimasukkan ke sekolah umum.
- Bila ia sulit untuk berkonsentrasi di tempat ramai, mungkin sebaiknya orangtua tak memaksa si anak untuk masuk ke sekolah umum. “Bisa-bisa dia malah benci belajar, hingga kemudian dia berkembang dengan konsep diri yang negatif karena selalu gagal, selalu berada di urutan paling bawah dan tertinggal dari teman-temannya.
- Uji lebih dulu si anak dengan sejumlah pertanyaan ini: Bisakah ia duduk diam di kelas selama jangka waktu yang lama, bisakah dia mengikuti aturan, bisakah dia memahami instruksi orang lain, atau bisakah dia mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi?
“Bila semua pertanyaan di atas jawabannya “tidak”, ya tidak ada positifnya memaksa anak masuk sekolah umum, lebih baik dia masuk sekolah khusus saja,” tambah Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja.
Jadi, sah-sah saja, kok, kalau orangtua mau coba-coba dulu memasukkan anaknya ke sekolah umum. Siapa tahu si anak memang mampu. Tapi, bila si orangtua sejak awal memang menyadari si anak mungkin sulit menyesuaikan diri di sekolah biasa, sekolah khusus akan menjadi pelabuhan yang tepat. Karena kalau dipaksa, ketika anak lain patuh saat disuruh latihan menulis misalnya, anak penyandang autis mungkin akan ’membangkang’ dan asyik sendiri melakukan hal lain. Itulah yang akan menyulitkan mereka di sekolah umum.
Biasanya orangtua yang tak bisa memasukkan anaknya ke sekolah umum memang mengalami kebingungan. Tapi, menurut Ita, saat ini sudah cukup banyak pilihan. “Selain di SLB (Sekolah Luar Biasa), bisa juga dia dimasukkan ke sekolah reguler, di special wings dengan special needs, yang menerapkan kurikulum tersendiri, atau homeschooling saja. Orang belajar itu kan tidak harus selalu di sekolah umum. Kalau ada sekolah khusus, itu baik, tapi kalau nggak ada, kenapa nggak dibuat? Nggak punya tempat? Di garasi saja!” kata Ita.
Lalu bagaimana dengan guru-gurunya? Nggak ada, lho, guru yang siap pakai. Semua belajar lagi karena setiap anak berbeda karakternya. Tak ada satu anak penyandang autis pun yang sama persis dengan yang lain. Satu hal yang utama, menurut Ita, guru itu harus punya niat untuk membaktikan diri terhadap tugasnya, karena urusan ilmu dan teknik bukanlah sesuatu yang tak bisa dipelajari. **