Otak Kiri vs Otak Kanan Balita
“Ayo sayang, berikan mainan itu pada Nadya, kamu harus bergantian. Lihat, ia sudah mulai menangis. Kasihan, kan?” kata Laura, mama dari Larisa (1,5).
Itu memang kalimat yang bagus, Ma. Tapi, efektifkah bagi anak? Nyatanya, usai mengatakan hal itu dan hendak mengambil mainan tersebut dari tangan Larisa, bukannya menyerahkan dengan sukarela tangis Larisa justru membahana. Waduh!
Permintaan Anda sebetulnya tidak berlebihan, Ma. Tapi, otak batita Anda memang belum cukup matang untuk memahami penjelasan Anda. Pada saat yang sama ia juga belum mampu mengontrol letupan emosi yang sangat kuat. Tak heran kalau ia justru menangis keras ketika Anda memintanya untuk meminjamkan mainan pada temannya.
Sayangnya, orang tua sering tidak menyadari hal itu. Mereka tetap berusaha memberi pengertian panjang lebar pada anak dengan harapan agar anak bisa mengerti. Menurut Thomas Phelan, psikolog dan penulis 1-2-3 Magic, itu karena orang tua seringkali menganggap anak sebagai orang dewasa mini.
Mereka bicara pada anak seolah pada orang dewasa saja sehingga kalimat-kalimat menenangkan yang dipakai, meski tampak logis, hanya cocok digunakan untuk orang dewasa. Bisa dimengerti kalau hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Hal ini sebetulnya erat kaitannya dengan perkembangan otak kiri dan otak kanan anak. Meski sangat mirip, kedua belahan otak itu bertanggung jawab terhadap hal yang sangat berbeda.
Otak kiri mengurusi hal-hal yang bersifat detil dan membutuhkan pemikiran, seperti berhitung dan memecahkan masalah. Sementara otak kanan mengurusi hal-hal yang bersifat spontan, impulsif, dan emosional.
Pada anak yang sudah besar dan orang dewasa, kedua belahan otak ini sudah lebih seimbang. Pada anak usia ini, otak kananlah yang jauh lebih dominan. Akibatnya, ia sering bersikap emosional dan pengaruh otak kiri yang memintanya untuk tetap tenang dengan mudah terabaikan. Apalagi kalau ada sesuatu yang menjadi pemicu seperti soal mainan pada Larisa.
Jadi? Tenangkan ia bukan dengan tambahan kata-kata lagi, Ma. Berikan ia pelukan, dan alihkan pada hal lain yang akan membuat perhatiannya tak lagi tertuju pada apa yang telah membuatnya menangis. Bila rasa ingin tahunya terusik sedikit saja, dengan cepat ia akan lupa, kok, pada apa yang telah membuatnya menangis.