Alasan Jangan Beri Label Anak Autis
Harus diakui, jumlah anak berkebutuhan khusus memang cenderung meningkat. Di Indonesia, misalnya, jumlah anak autis setiap tahunnya terus bertambah. Pada 2008, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengatakan, pada tahun 2004 jumlah anak autis tercatat sebanyak 475.000 penderita. Sekarang ini, diperkirakan setiap 1 dari 150 anak yang lahir menunjukkan ciri-ciri autisme. Badan Pusat Statistik bahkan mencatat ada sekitar 1,5 juta anak yang mengalami autisme.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa penanganan anak berkebutuhan khusus memang harus dimulai sejak dini: Semakin cepat orang tua mengetahui apa yang diderita anak, semakin cepat pula support tambahan atau juga pengobatan yang harus didapatnya. “Jika mendapat diagnosis berupa label akan membuat anak mendapat bantuan yang diperlukan, lakukan saja,” kata Ari Brown, M.D., dokter anak dan penulis Toddler 411. Masalahnya, tidak selalu mudah mendiagnosis anak.
Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.Ed, Guru Besar dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, menyatakan, “Dampak pelabelan pada anak itu bagaikan 2 sisi mata coin. Kalau label itu adalah diagnosis, kita bisa segera membantu anak untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.
Nah, yang menjadi masalah bila label menjadi negatif karena tidak digunakan pada tempatnya. Misalnya, anak tidak suka pada temannya dan bilang, ‘Ahhh… Dasar autis.’” Masalahnya lagi, pelabelan ini bisa berdampak pada saat anak dewasa kelak, terutama jika lingkungan sangat tidak mendukungnya. Lingkungan ini bisa berarti orang tua, keluarga, sekolah, dll.
Yang pasti, menurut Ivy Chong, Ph.D., Director of Autism Services and Training pada Scott Center for Autism Treatment, Institute of Technology di Melbourne, Florida, orang sudah tidak terlalu melabel anak yang memiliki perilaku yang aneh dengan pola pengasuhan Anda, bila mereka mengetahui bahwa anak menderita sesuatu yang definisinya memang jelas.”