Saat Anak Memancing Emosi
Pernahkah Anda merasa anak Anda seolah menguji kesabaran hingga batas yang menyebabkan Anda marah padanya? Rasanya, setiap orang tua pernah mengalaminya, dengan tingkat dan bentuk kemarahan berbeda. Tahukah Anda, penyebab kemarahan itu sebenarnya bukan anak, tetapi orang tua itu sendiri?
Dalam sebuah pelatihan Compassionate Parenting, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru TK bertanya sekaligus setengah mengeluh, ”Mengapa di sekolah saya bisa bersabar menghadapi 20 murid yang tingkahnya macam-macam, namun begitu di rumah menghadapi anak yang semata wayang saya sering meledak?” “Itulah salah satu tugas anak: memancing emosi orang tuanya,” jawab Gobind Vashdev, penulis buku Happiness Inside.
“Mengapa begitu, Pak?” tanyanya, penasaran. Anak-anak dilahirkan untuk menuntun kita masuk ke dalam diri dan menyembuhkan luka-luka batin, bukan sebaliknya, dengan kemasan kata-kata ‘mendidik’ atau ‘mendisiplinkan’, kita malah menularkan luka batin kita kepada anak yang masih murni. Orang tua perlu menyadari bahwa batin kita penuh dengan goresan yang terjadi sewaktu kita kecil. Biasanya, luka-luka ini terjadi karena gesekan hubungan kita dengan orang tua atau orang yang kita kasihi. Mungkin selama ini kita telah berhasil menutupi, memendam, dan mengalihkannya, namun bukan menyembuhkannya. Ketika beranjak dewasa, dengan berbagai dalil dan pembenaran, kita merasa tidak apa-apa, baik-baik saja.
Namun, di dalam hati kecil, sebenarnya kita tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ketidakberesan ini bisa dirasa dari seringnya kita terbajak oleh emosi, apakah itu kemarahan, ketakutan, kesedihan, atau lainnya. Dari dasar emosi yang bergejolak inilah kita mengambil keputusan, menghakimi dan menghukum anak, bertindak, dan bertingkah-laku lainnya. Di sisi lain, kita telah belajar sopan-santun, etika, menahan agar emosi yang di dalam tidak keluar, mengatur cara berbicara dan bergerak, namun letupan dari dalam yang mendidih sering kali tidak bisa dihindari.
Seperti alam yang selalu mencari keseimbangan, begitu pula tubuh dan batin yang ingin sehat dari luka-luka yang diderita. Sewaktu kita mencari pasangan, pikiran sadar kita cenderung memilih yang mirip perangainya dengan kita, namun, sebenarnya, pikiran bawah sadar mencari yang berbeda bahkan bertolak belakang, karena dengan berbeda akan muncul potensi konflik yang lebih besar.
Mengapa bawah sadar menginginkan konflik? Karena, melalui konfliklah biasanya terkuak luka batin yang telah lama terpendam. Tujuan pikiran bawah sadar sangatlah mulia, yaitu agar kita mengenali masalah yang ada di dalam diri dan membereskannya melalui pengertian, pemahaman, dan kesadaran baru. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya, kita malah ‘membereskan’ pasangan kita.
Lalu, bagaimana hubungan keseimbangan kita dengan anak? Ketika anak lahir, ia terhubung dengan luka-luka yang ada di dalam hati kita. Hubungan anak dan orang tua bukan sekadar hubungan fisik dan emosional, melainkan lebih dalam lagi, yaitu secara energi. Anak mengenal betul di mana ‘tombol merah’ yang ada di diri kita, dan ia seolah dilahirkan dengan ‘tugas’ memencet tombol bara tersebut.
Tidak mengejutkan bila kita sering melihat atau merasakan sendiri perbedaan mencolok, seseorang yang sebelumnya terlihat tenang dan sabar berubah menjadi gampang tersulut setelah bergelar orang tua. Gobind mencontohkan lewat pengalamannya. "Sewaktu anak kami, Rigpa (3), menjatuhkan piring nasinya, saya merasa hal itu biasa saja. Saya santai seperti di pantai. Sementara, Tika, istri saya, seperti kebakaran jenggot.Namun, di suatu siang, ketika dengan tenangnya Rigpa melemparkan sebuah mainannya ke kolam di depan rumah, saya terkejut dengan reaksi saya yang mengerang. Saya menyadari tangan saya mengepal kuat dan napas panas saya keluar dengan gigi yang berimpitan erat. Apa yang Rigpa lakukan adalah hal sepele. Secara rupiah, mainan yang dilemparkan juga tergolong murah. Namun, mengapa hal itu bisa memancing naga merah membara keluar dari diri saya? Saya kaget sekali, bahwa ternyata ada kemarahan amat besar dalam diri saya yang selama ini saya kira sudah padam. Saat seperti inilah saat yang paling penting dalam diri manusia: ini adalah titik krusial, di mana kita bisa memilih, mau dibawa ke mana kesadaran diri ini."
Gobind menambahkan, "Dahulu, sebelum menyadari hal ini, seperti kebanyakan orang, saya akan berusaha untuk mengontrol keadaan luar dengan cara marah dan mengancam agar orang lain atau anak tidak melakukan tindakan yang membuat saya marah lagi. Sekarang, tatkala ‘naga’ dalam diri saya membara keluar, sebelum ia kembali dan bersembunyi lagi, saya pastikan untuk ‘memegang buntutnya’ dan mengikuti ke mana ia pergi dan mendekam. Berbekal rasa marah, sedih, takut yang memuncak inilah saya duduk hening, menyelam ke dalam, ke tempat di mana pertama kali emosi itu muncul. Dalam meditasi yang dalam, saya melihat Gobind kecil yang sedang marah, mengambil dan melempar beberapa benda dari dapur ke dalam sumur. Lalu saya berdialog cukup lama dengan Gobind kecil, mencoba mengerti dan menyadari apa yang terjadi. Hal ini saya lakukan berkali-kali, saya duduk dan memanggil rasa marah yang masih tersisa lalu memeluknya seperti memeluk seorang bayi kecil yang sedang menangis. Kemarahan bukan musuh, kesedihan bukan lawan, mereka adalah bagian diri kita yang sedang terluka, yang perlu dirawat layaknya organ dalam tubuh ini. Di saat saya sudah mampu berdamai dengan kemarahan yang ada, ajaibnya Rigpa tidak lagi melempar mainannya."
Apa yang terjadi di luar diri kita adalah cerminan dari apa yang ada di dalam batin. Anak-anak terhubung jauh ke dalam diri kita, mereka memproyeksikan apa yang ada di dalam diri kita. Sadari bahwa sebagian besar kekacauan yang orang tua tuduhkan pada anak berasal dari dalam diri orang tua sendiri. Dengan kata lain, kita hanya bisa memberi apa yang kita punya. Kita tidak mungkin sering marah, kalau kita tidak mempunyai banyak kemarahan di dalam.
Kita terlalu banyak berdebat untuk mencari solusi. Selama ini, kita bertindak seperti pemadam kebakaran, hanya menutup satu masalah yang muncul sambil menunggu masalah lain hadir. Kita perlu sekali mengurangi cara-cara instan dengan mengatur semua yang di luar dan kembali ke dalam untuk mengerti dari mana semua masalah berawal. Sekali lagi, anak-anak dilahirkan dengan kebijaksanaan yang masih murni untuk menuntun diri kita. Tidak ada orang lain yang lebih lihai menunjukkan tempat luka membara, tidak ada orang yang lebih jago memancing sang naga yang ada dalam diri kita keluar, dan tidak ada orang lain yang mampu menuntun kita pada kesadaran yang lebih luas, selain sang guru besar yang berbadan mungil: anak kita!
Gobind Vashdev, penulis buku ‘Happiness Inside’, menyebut dirinya seorang heartworker, dan papa yang menerapkan compassionate parenting dalam mengasuh Rigpa (3).