Ini Alasan Anak Ingin Populer di Sekolah
Di usianya yang kesembilan, mungkin Anda akan dikejutkan satu pertanyaan anak: “Kenapa, sih,banyak yang suka sama temanku itu?” Secara spesifik, dia akan menyebutkan satu nama temannya.
Mungkin Anda akan menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia juga punya banyak teman. Tetapi, Ma, yang dia maksudkan bukan sekadar punya banyak teman. Anak Anda yang beranjak praremaja ini mulai memahami perbedaan antara persahabatan dan popularitas, yang merupakan ‘penentu status sosial’ mereka bergaul di sekolah.
“Di usianya yang masih belia, anak-anak sudah tahu bahwa hanya yang populerlah yang memiliki ‘kekuatan sosial tertinggi’ di kelas, dan menganggap popularitas adalah segalanya,” kata Tracy Vaillancourt, Ph.D., profesor psikologi dari University of Ottawa.
Antara Popularitas & Kesuksesan
Psikolog Nessi Purnomo, M.Psi mengungkap bahwa popularitas tidak sama dengan kesuksesan.
“Ada beberapa sebab mengapa anak jadi terkenal di sekolah. Bisa karena anak itu cantik, kaya, punya talenta tertentu yang menonjol, atau karena anak tersebut memang pandai bergaul.
Bila popularitas yang dia dapat karena kecantikannya, atau karena selalu memakai barang-barang mahal dan bermerek, popularitas tentu saja tidak menjamin kesuksesannya di masa depan. Tapi kalau dia populer karena kemampuannya, atau karena kesupelannya, saya setuju jika popularitasnya ini bisa membuatnya sukses,” kata Nessi.
Berbagai penelitian di bidang ilmu sosial juga mendukung pernyataan Nessi. “Menjadi populer tidak selalu berarti bahwa Anda disukai,” kata seorang jurnalis, Alexandra Robbins, yang mempelajari kelompok anak-anak sekolah populer untuk bukunya TheGeeks Shall Inherit the Earth.
Bahkan, tahukah Anda bahwa saat ini banyak perusahaan besar (salah satunya Yahoo!) yang memprioritaskan individu ‘out ofthe box’ (baca: aneh) dalam perekrutan pegawainya? Alasannya, untuk mendapatkan ide-ide tak biasa yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh orang-orang ‘normal’ dan biasa.
Bila dulu anak-anak mulai mempermasalahkan popularitas ketika mereka duduk di bangku SMP atau SMA, sekarang hal ini sudah dipermasalahkan sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar.
Anak-anak ini sudah memilih siapa yang diinginkan (dan tidak diinginkan!) sebagai teman bermain. Kenapa?
“Tentu saja dipengaruhi oleh media yang mereka lihat atau tonton, atau memang justru karena ‘dukungan’ dari lingkungan sekitarnya. Misalnya begini: Ada sekolah yang membebaskan muridnya untuk membawa dan memakai apa pun (mulai dari smartphone hingga tas bermerek!), ada juga sekolah yang ‘mensterilkan’murid-muridnya dari hal-hal berbau kemewahan tersebut.
Anak-anak yang memiliki kelebihan dan kebetulan bersekolah di tipe sekolah pertama, akhirnya punya kecenderungan untuk menjadi ‘berbeda’ dari teman-temannya,” papar Nessi.
Seorang mama bercerita, di sekolah anaknya, ada 2 anak perempuan yang selalu memakai tas dan sepatu bermerek ke sekolah.
“Mereka punya cara sendiri dalam menyeleksi anak-anak yang boleh berteman denganmereka, yaitu dengan menepuk bahu mereka. Waktu itu anak saya sangat sedih, karena ia tidak menjadi anak yang ‘terpilih’. Ia sempat menyalahkan tas dan sepatunya yang bukan keluaran merek terkenal,” katanya.
Tekanan Teman-Temannya Lebih Kuat
Pada anak laki-laki, barometer popularitas adalah (dan ini berlaku secara universal) kemampuan atletik. Saat remaja, anak laki-laki yang jago basket di sekolah selalu tampak lebih menarik dibanding yang kutu buku, kan.
Hal ini pun sudah berlaku di SD, lho. Tetapi, di tahap usia mana pun, anak populer menghadapi tekanan yang cukup kuat dari teman-temannya. Mama boleh bangga punya anak jago futsal atau basket di sekolah dan jadi idola teman-temannya, tetapi, bisa saja anak tertekan dengan harapan teman-teman yang selalu berharap dia menjadi nomor satu.
Tekanan ini bisa membuat emosinya mudah meledak jika dia merasa gaga, misalnya tidak bisa memasukkan bola ke gawang. Profesor sosiologi dari University of California-Davis, Robert Faris, Ph.D, bersama peneliti lain menemukan fakta bahwa anak populer ternyata memang memiliki peerpressure yang besar juga.
Mereka tak ingin kehilangan popularitas, dan akan melakukan apapun untuk tetap populer.
Menjadi populer bukanlah hal yang buruk, demikian pendapat Nessi. Masalah hanya muncul ketika anak-anak populer ini merasa eksklusif dan ‘lebih tinggi’ dibanding teman-temannya yang lain.
Baca juga : Cara Mudah Meningkatkan Prestasi Sekolah Anak
Nah, apa yang harus Anda lakukan jika popularitas membuatnya merasa ‘tinggi’? “Boleh saja merasa bangga pada popularitas anak, tapi Anda perlu tahu juga apa yang menyebabkan anak ini menjadi populer? Apakah karena prestasinya, kebaikan hatinya, atau karena ia merasa cantik/ganteng?” kata Nessi.
Jika penyebabnya adalah karena kelebihan fi sik, Anda perlu ‘mengorek’ lebih dalam seperti apa sikapnya pada teman-temannya di sekolah. Jika Anda menemukan ada ‘kesombongan’ dalam diri anak akibat popularitasnya, berarti saatnya Anda bertindak. Bagaimana caranya?
“Tumbuhkan rasa empati anak. Buatia agar bisa menempatkan dirinya sebagai anak yang tidak populer. Tanyakan padanya, bagaimana perasaannya jika ia tak memiliki wajah cantik, dijauhi oleh teman, dan dijahati?” saran Nessi.
Sebaliknya, jika anak Anda adalah tipe tak populer yang disisihkan seperti Anna, dukunglah anak untuk percaya bahwa dirinya pun memiliki kelebihan yang tak kalah dibanding anak-anak populer, misal jago matematika, punya suara bagus, dsb.
Beritahu dan dorong praremaja Anda untuk berinteraksi secara positif dengan teman-temannya (sebanyak-banyaknya!).
Terakhir, jangan lupakan satu hal ini: Gaya pertemanan anak saat ini merupakan cermin gaya pergaulannya kelak di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Tapi, nanti kondisinya akan lebih ‘keras’.
Jadi, sekaranglah waktu untuk ia belajar bahwa tak harus mengubah dirinya untuk memiliki banyak teman, atau menjadi terkenal.