Beda Gaya Asuh Anak Picu Konflik Orang Tua
Ternyata, konflik antara suami dan istri tak jarang disebabkan oleh beda gaya pengasuhan anak. Anda perlu menerapkan seni kompromi yang akan membuat semua happy.
“Suami ingin anak-anak dikenalkan pada mainan apa pun, termasuk pistol-pistolan atau pedang-pedangan. Sementara bagi saya, mainan tersebut justru mendorong anak untuk melakukan kekerasan. Kami pun ‘ribut’, deh!
Anak sebaiknya memang dibiarkan bereksplorasi dengan berbagai macam mainan. Jadi, pistol-pistolan atau pedang-pedangan boleh saja, asal tidak berlebihan. Anda berdua bisa membuat kesepakatan, misalnya hanya boleh membeli satu pistol atau pedang saja. Setelah itu, minta suami mengajarkan bagaimana cara memainkan dan aturan-aturannya. Istri bisa menjelaskan apa fungsi pistol, siapa yang menggunakan, dan apa sisi buruknya. Anak juga perlu diterangkan bahwa ini hanya permainan atau pura-pura saja. Permainan ini sebenarnya bisa dijadikan momen khusus untuk papa dan anak. Kalau mau lebih kreatif, ajak anak untuk membuat sendiri mainan pistol atau pedangnya, bisa dari kardus atau dari pelepah pisang.
“Waktu anak sulit makan, suami malah menawarkan mi instan yang si kecil memang suka. Kesal, deh! Alasannya mau makan saja sudah bagus. Padahal makanan itu, kan, tidak bagus untuk kesehatan!”
Ada hal-hal yang memang tidak bisa menjadi kompromi, terutama hal-hal yang berbahaya atau merugikan kesehatan anak seperti rokok. Soal mi instan, papa mungkin beranggapan bahwa jika hanya diberikan sekali tidak masalah, apalagi anak memang hanya sedang makan itu. Alasannya memang masuk akal. Masalahnya, jika hal tersebut terus berulang dilakukan bisa menimbulkan ketagihan pada anak. Akibatnya, setiap kali anak tidak mau makan, jalan keluarnya adalah memberinya mi instan. Solusinya, Anda berdua menciptakan menu dan suasana makan yang menyenangkan. Bisa juga Anda membuat makanan dan suami menemani anak.
Baca juga : Akibat Perbedaan Pola Asuh Anak
“Suami senang sekali menyemangati si kecil yang sedang bermain perosotan dari pegangan tangga, meski tidak tinggi. Saya menjerit-jerit, takut kepala anak terbentur atau jatuh. Bagi saya itu bahaya!”
Tidak perlu buru-buru melarang anak perosotan, apalagi jika perosotannya berada di bawah pengawasan suami. Semakin Anda menjerit, anak justru akan senang menggoda Anda. Apalagi mendapat dukungan papanya. Anak juga perlu bereksplorasi. Memang, sebaiknya Anda memberitahu dan menjelaskan risikonya pada anak jika ia bermain perosotan pada pegangan tangga. Misalnya, kepala akan bisa terbentur yang membuatnya sakit dan tidak bisa bermain lagi. Beritahu suami, bahwa sebaiknya anak bermain perosotan pada tempatnya yang banyak tersedia di taman bermain.
“Istri ingin anak masuk sekolah sejak anak usia 3 tahun. Sementara saya ingin ia bermain dan mengenal lingkungan sekitar dengan dijaga suster. Takutnya dia malah bosan di sekolah.”
Salah satu cara berkompromi dari masalah ini adalah menjadikan kondisi dan kebutuhan anak sebagai patokan, apakah dia butuh sekolah atau tidak. Salah satu ciri anak siap ‘dilepas’ sekolah adalah dia sudah bisa ke toilet dan makan sendiri misalnya. Jika Anda belum yakin, minta pendapat ahli sebagai penengah. Bisa juga dicari sekolah yang tetap mengutamakan bermain dan tidak membebani anak dengan kurikulum yang berlebihan.