Anak Belajar Mandiri di Rumah
Mengajarkan kemandirian pada anak, tentu harus didukung oleh semua anggota keluarga, termasuk asisten Anda. Sejak awal, samakan persepsi antara Anda dan si mbak.
“Ketika hadir tenaga tambahan di rumah, mama pasti berharap semua pekerjaan di rumah akan beres. Tapi, ‘beres’ yang seperti apa? Dalam pikiran para mbak, yang dimaksud ‘beres’ itu mungkin ketika anak majikannya tidak rewel, tidak membuat rumah jadi berantakan, dsb. Sehingga, para mbak memilih untuk melakukan segala hal yang diminta anak, termasuk mengambilkannya minum, menyuapi, hingga membawakan tas sekolahnya,” jelas psikolog Nessi Purnomo, M.PSi.
Nah, perbedaan persepsi inilah yang harus Anda atasi. Nessi menyarankan Anda melakukan semacam training pada si mbak sebelum mereka memulai tugasnya. “Kalau Anda ingin anak terbiasa pakai baju dan sepatu sendiri, katakan pada mbak bahwa anak harus melepas pakaian seragam dan sepatunya sendiri sepulang sekolah. Mbak tidak boleh membantu. Kemudian ketika Anda dan suami ada di rumah pada malam hari, giliran Anda berdua yang mengasuh anak. Biarkan mbak mengamati secara langsung pola asuh yang Anda terapkan pada anak. Dengan begitu, si mbak bisa menirunya ketika giliran ia yang menjaga anak.”
Pendekatan tak hanya dilakukan pada si mbak, tapi juga pada anak. Sejak kehadiran si mbak pertama kali, atau kalau bisa sebelumnya, jelaskan pada anak akan status mbak di rumah. Katakan bahwa si mbak hanya bertugas membantu pekerjaan-pekerjaan tertentu di rumah. Jadi, tidak bisa anak meminta semua bantuan kepadanya.
Pembatasan wewenang anak untuk meminta bantuan kepada mbak tak hanya bertujuan untuk menghargai si mbak, tapi juga untuk menghindari ketergantungan anak kepada mbak di kemudian hari yang bisa membuat anak jadi manja dan tidak bisa mandiri. Bila keterusan, anak akan meminta segala pertolongan kepada pembantu dan tidak mau melakukan apapun sendiri, termasuk mengambil sepatu atau membawa tas sekolahnya.