Beda Gejala Demam DBD dan COVID-19
Meningkatnya angka kejadian COVID-19 tentu membuat kita khawatir dan antena kewaspadaan kita naik makin tinggi. Namun, kewaspadaan kita sebaiknya tidak hanya berfokus pada penularan COVID-19, karena saat ini bahaya penyakit lain juga tengah mengintai: Demam Berdarah Dengue (DBD).
Sama-sama bergejala demam, bagaimana membedakan DBD dari COVID-19? Menurut Dr. dr. Erni Juwita Nelwan, Sp.PD, KPTI dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), dalam pertemuan media dalam rangka ASEAN Dengue Day 2021 lalu di Kementerian kesehatan RI, demam pada DBD terjadi akibat diremia, yakni di dalam darah terdapat virus yang beredar, yang sulit diturunkan dengan obat. Jika penderita mengonsumsi penurun panas, ia akan berkeringat karena efek obat, namun demamnya masih ada, karena penyebab demamnya ada di dalam darah.
Demam pada DBD juga muncul mendadak dan langsung tinggi. “Pahami juga, pada saat orang mengalami gejala DBD, dia sudah inkubasi dulu sebelumnya. Nggak berarti pagi digigit nyamuk, sorenya dia sakit. Ada fase inkubasi, fase saat virus masuk belum menimbulkan gejala, sampai jumlahnya cukup banyak beredar di dalam darah, kemudian menimbulkan penyakit atau demam,” papar dr. Erni.
Selain demam tinggi, salah satu gejala DBD adalah sakit kepala yang khas. “Pada pasien DBD, sakit kepalanya khas, frontal di dahi atau di belakang bola mata,” kata dr. Erni.
Sementara, demam karena COVID-19, biasanya disertai gejala respirasi yang lebih dominan, seperti sesak napas, batuk, susah menelan, anosmia (hilangnya penciuman), dan sebagainya. Walaupun ada perbedaan dalam pola demam DBD dan COVID-19, di tengah kondisi saat ini, menurut dr. Erni, sebaiknya dokter tidak hanya melakukan swab, tetapi juga pemeriksaan hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan jika memungkinkan juga dilakukan pemeriksaan NS1, protein virus dengue.
Lalu, bagaimana gejala DBD dan COVID-19 pada anak-anak, apakah ada perbedaan atau memiliki ciri spesifik? Dijelaskan dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp. A(K) dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), gejala DBD pada anak adalah demam akut atau mendadak, sakit kepala, batuk-pileknya lebih ringan dibandingkan pada gejala COVID-19, dan wajah anak merah khas. Sementara, “COVID-19 tidak membuat muka merah khas, dan (disertai) batuk pilek, yang pileknya meler,” kata dr. Mulya.
Pada anak-anak, DBD bisa disertai muntah-muntah dan dan sakit perut. Sedangkan pada COVID-19 hal tersebut jarang terjadi, tapi bisa disertai diare. Dokter Mulya juga menyarankan, saat pasien anak datang ke rumah sakit, jika sudah terjadi demam selama 2 hari, ia harus diperiksa apakah terdapat infeksi COVID-19 atau tidak dan pemeriksaan ke arah kemungkinan dengue.
Yang penting diperhatikan pada demam DBD dan COVID-19 adalah fase-fasenya. Pada DBD, jangan bernapas lega dulu jika di hari ketiga panas turun. Karena, pada anak-anak, dan secara umum, infeksi dengue di hari ketiga sampai keenam itu justru masuk fase kritis. Jika tidak tertangani dengan benar, bisa jatuh ke syok hipovolemik, yakni ketidakmampuan jantung memasok darah yang cukup ke tubuh akibat adanya kekurangan volume darah. Hal ini bisa berakibat pada kebocoran di pembuluh darah. “Itu adalah masa rawan infeksi dengue, penderita bisa meninggal jika tidak diberikan cairan cukup, karena obat dengue itu cairan. Sementara, pada COVID-19, keluhan demam itu bisa 5-7 hari, baru kemudian disertai batuk dan pilek. Gejala yang lebih dominan itu sesak dan saturasi oksigen menurun,” jelas dr. Mulya.
grc
Foto: Freepik
Topic
#corona #coronavirus #viruscorona #covid19 #dirumahsaja #dirumahaja #belajardirumah #workfromhome