Cara Mama Asah Bakat Putranya Sejak Balita
Tantangan di era modern yang dapat dijawab orang tua saat ini, bukan hanya soal merencanakan pendidikan anak demi masa depannya. Meraih peluang emas, dengan menjadikan anak selangkah lebih maju dibandingkan anak-anak seusianya, juga bisa menjadi langkah besar masa depan anak sejak dini. Tentu saja, ada beberapa kiat untuk menjadikan anak lebih unggul dibandingkan anak-anak seusianya.
Berikut ini adalah penuturan Wensi Nopalasari, mama Kiagus Muhammmad Fazil , tentang cara ia mengoptimalkan bakat putranya dalam bermain bulutangkis, untuk inspirasi Anda:
Fazil sekarang masih berusia 3,5 tahun dan bersekolah PAUD di dekat rumah kami di Pagar Alam, Sumatra Selatan. Kebetulan sang papa, Kiagus Muhammad Nangyu, memiliki usaha toko alat olahraga, juga sekolah bulutangkis “Dahlia” yang berlokasi di samping rumah kami saat ini.Tentunya, sejak lahir Fazil sudah melihat ayahnya maupun orang-orang bermain bulutangkis. Oleh karena itulah, ia menjadi penyuka olahraga sejak mulai belajar berjalan. Bukan hanya bulutangkis, Fazil juga suka olahraga berlari, bola kaki, dan sebagainya. Tetapi, karena ia lebih sering melihat papanya main bulutangkis, ia jadi lebih suka olahraga tersebut.
Saat baru merangkak saja, Fazil sudah ikut ke lapangan dan mencoba mengambil kok (bola bulutangkis). Berlanjut saat berusia 1 tahun, ia mulai mencoba memegang raket bulutangkis dan memainkannya. Kadang, ia juga menjaga lapangan, mengumpulkan kok yang jatuh di pinggir lapangan, atau sekadar menonton orang lain bermain bulutangkis. Dan saat menginjak usia 3 tahun, ia sudah bisa servis (pukulan permulaan) sampai melewati net, melakukan smes (pukulan menukik), atau memukul kok layaknya orang dewasa. Intinya, di usia 3 tahun, Fazil sudah pandai bermain bulutangkis dengan gaya seperti pemain bulutangkis dunia. Mungkin ia belajar dari apa yang dilakukan orang di sekolah papanya, juga dari pertandingan bulutangkis yang kerap ia saksikan di televisi.
Sebenarnya, saya dan suami tidak pernah memaksa Fazil memilih bulutangkis. Bahkan, papanya sempat melarang Fazil main bulutangkis karena masih terlalu kecil. Rata-rata usia murid sekolah bulutangkis papanya berkisar di atas 6 tahunan, sedangkan Fazil masih jauh dari batas usia tersebut. Namun pikiran papanya berubah saat melihat Fazil yang kala itu masih berusia 1 tahun, sudah bisa memainkan raket dengan baik dan memukul bola dengan timing yang pas. Padahal, kalau papanya melatih murid-murid sekolah bulutangkis, butuh 1 hingga 2 bulan untuk bisa memukul bola dengan timing yang baik. Dari situ, kami melihat kalau anak ini berbakat main bulutangkis.
Memfasilitasi minat dan bakat Fazil, kami tidak pernah mengarahkan ia berlatih bulutangkis secara rutin. Kami membebaskan Fazil bermain bulutangkis sesukanya setiap hari. Saat ini, kan, Fazil sudah sekolah di PAUD, jadi kalau pagi hari ia harus pergi ke sekolah. Nah, pulangnya ia bisa bermain bulutangkis, kalau lapangan ayahnya sedang tidak dipakai berlatih murid-murid. Kadang ia bermain sore hari, kadang malam hari, semau ia saja. Tidak ada yang menyuruh, kami sendiri justru sulit melarang Fazil karena kalau sudah maunya, ia sulit dihentikan dan tidak ada capainya. Saya dan suami cukup mengawasi saja saat ia bermain, serta mengingatkan kalau sudah waktunya beristirahat.
Kebetulan sejak awal, Fazil memang sudah memiliki self discipline sehingga ia sendiri tahu kapan harus berhenti bermain untuk tidur siang atau makan. Ia juga sudah tahu kalau ada orang lain menggunakan lapangan, ia tidak boleh masuk ke lapangan bulutangkis.
Mendukung bakat Fazil dalam cabang olahraga bulutangkis, papanya sengaja memberikan Fazil raket bulutangkis dalam ukuran normal. Menurut kami, kalau Fazil terbiasa menggunakan raket ukuran kecil, nanti jika beralih ke raket berukuran normal, ia harus beradaptasi kembali atau justru tidak bisa. Namun sebagai pertimbangan lain, papanya memilihkan Fazil raket bulutangkis dalam bobot yang paling ringan. Selain soal raket, Fazil juga bermain dengan lawan yang mahir bulutangkis. Dan sekarang, ia justru tidak mau latihan bulutangkis, kalau lawannya tidak bisa main bulutangkis. Pengalaman ini membuat Fazil tidak canggung saat harus mencoba bermain bulutangkis di tempat lain. Ini juga merupakan bekalnya, bila kelak ia ingin bersekolah bulutangkis di Jawa.
Sementara ini, kami mendukung Fazil yang bercita-cita menjadi atlet bulutangkis dunia seperti Mohammad Ahsan, idolanya yang juga berasal dari Palembang. Rencananya, kalau masuk sekolah dasar, kami juga akan membicarakan dengan pihak sekolah agar Fazil bisa mengambil ekstrakurikuler bulutangkis.
Semoga ini merupakan jawaban dari cita-cita papanya yang gagal masuk Pelatnas di tahun 2006 silam, saat masih duduk di bangku SMP. Siapa tahu, Fazil bisa melanjutkan cita-cita itu, dan mendapat beasiswa bulutangkis. Kebetulan, Fazil sangat berkeinginan melanjutkan sekolah SMP di Jawa, agar bisa mengasah bakatnya di bidang bulutangkis. Bahkan Fazil kerap bilang ke saya, ‘Nanti (kalau Fazil sudah besar) Bunda menonton Kakak bermain bulutangkis di televisi. Ayah temani Kakak bermain bulutangkis, Bunda di rumah saja mendoakan Kakak.’ Terharu saya mendengar ucapannya yang polos itu. Saya jadi suka menyemangati ia dengan menunjukkan bagaimana pemain bulutangkis dapat membeli rumah dari hasil bermain bulutangkis. Saya bilang, pemain dunia seperti Mohammad Aksan juga bisa mendapat rumah, kalau menang pertandingan kelas dunia, lho. Dan Fazil pun semakin bersemangat. (Teks & Foto Laili Damayanti)