Mengapa Kekerasan pada Anak Bisa Terjadi?
Seto Mulyadi, psikolog anak dan Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, mengatakan bahwa jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia, dibandingkan dengan negara lain, semisal Inggris, tergolong cukup rendah. Tetapi ini tidak menunjukkan kenyataan sesungguhnya.
“Di Inggris, orang sudah sadar melaporkan kekerasan terhadap anak, dan kasus-kasus itu tidak akan terlupakan. Di Indonesia memang jumlahnya lebih sedikit, tetapi mungkin faktanya lebih tinggi, karena banyak yang tidak berani mengungkap atau melapor, dan jika ada kasus, hebohnya hanya beberapa hari setelah itu hilang.
Karena, orang tidak peduli dan masih banyak orang menganggap melakukan kekerasan terhadap anak adalah hal lumrah. Ketika saya melakukan seminar-seminar ke berbagai daerah, banyak yang mengatakan kepada saya bahwa anak-anak ditempeleng dan dijewer itu biasa. Itu tidak benar, bahwa kekerasan pada anak adalah cara untuk mendisiplinkan anak,” papar Seto.
Hal ini terjadi karena dalam masyarakat kita masih terdapat paradigma yang keliru. “Anak dianggap sebagai komunitas kelas bawah dan hak milik orang tua. Banyak orang tua mengatakan, ‘Ini anak saya! Saya didik dengan cara apa pun, itu adalah hak saya, Anda tidak berhak ikut campur!’ Itu salah.
Cara berpikirnya harus dibalik, hak anaklah yang diutamakan, yakni dilindungi orang tuanya. Bahkan, orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya sanksi pidananya ditambah lagi, karena orang tua harus ada pada garda paling depan untuk melindungi anaknya,” ungkap Seto.
Kekeliruan lain yang kerap bercokol di pikiran orang tua adalah menganggap anak-anak sebagai manusia dewasa mini. Anak dianggap memiliki kekuatan yang sama dengan orang dewasa, sehingga akan kuat mendapat perlakuan dan benturan keras.
Padahal, sesungguhnya, tidak demikian. Justru kekerasan yang diterima anak, sekecil apa pun dalam bentuk apa pun, baik fisik, mental, seksual, hingga penelantaran, bisa menimbulkan luka yang membahayakannya secara fisik dan mental. “Anak-anak itu ringkih sekali, fisik dan jiwanya. Kekerasan akan membentuk jiwa yang penuh perlawanan dan pemberontakan,” kata Seto.