Asah Bakat Seni Anak
Lihat saja, bayi senang sekali memerhatikan benda berwarna warni yang bergerak. Dan ketika memasuki usia 1 tahun, ia mulai menyukai pensil, krayon, spidol, dan segala sesuatu yang bisa meninggalkan ’jejak’ di kertas, dinding, sofa, atau seprai. Ia juga gemar merobek-robek kertas, berharap bisa membuat ‘patch work’ dari hasil robekannya. Kemudian, coba Anda beri ia stiker. Dijamin, ia akan riang gembira meminta Anda mengelupas stiker dan menempelkannya ke mana saja. Dalam waktu singkat, ia pun akan melepas dan menempelkannya kembali berulang-ulang, menata semaunya, sampai stiker tersebut robek atau tak berbentuk.
Anak sangat menyukai musik pula. Lihat, kan, betapa mudah ia mengikuti gerakan tepuk tangan Anda ketika Anda mengajarkan lagu “Pok Ame-Ame”? Atau, betapa cepat ia menggoyangkan tubuh begitu mendengar suara musik dari televisi, dan Anda menyemangatinya berjoget. Ya, Ma, seni ternyata bukan soal berbakat atau tidak berbakat. Menurut Lisa Tanti, pemilik Art Nouveau, seni sebenarnya sudah menjadi bagian proses tumbuh dan kembang anak. Beberapa anak memang diberi kelebihan berupa bakat seni, tetapi bakat pun harus dikembangkan. Jika tidak, anak tidak akan mendapatkan manfaat dari bakatnya.
“Anak yang berbakat melukis, jika tidak dikembangkan atau diarahkan, maka gambarnya hanya akan begitu-begitu saja. Ia tidak akan kreatif menciptakan gambar yang baru,” kata Lisa. Sedangkan pada anak yang tidak memiliki bakat, namun rutin dilatih, hasil gambarnya mungkin tidak terlalu spektakuler, seperti Affandi atau Van Gogh, tetapi ia kreatif menciptakan bentuk-bentuk gambar yang baru.
Meski seni melekat pada setiap orang sejak lahir, banyak faktor yang akhirnya membuat seseorang ‘putus ikatan’ dengan seni. Misalnya, pada orang-orang yang kerap mengaku tak bisa menggambar, bahkan sebuah gambar sederhana sekalipun. Kenapa? Bisa jadi faktor orang tua dan lingkungan (sekolah) yang memang tak pernah mendukung atau menganggap penting perkembangan seni. Orang tua sering kali merasa lebih penting memacu kemampuan matematis anak dibandingkan keahlian seninya. Di rumah pun, orang tua kerap melarang begitu anak mulai mencoret-coret tembok dengan pensil atau spidol. Ditambah lagi dengan proporsi pelajaran seni di sekolah yang sangat sedikit dan tak menstimulasi anak.
Foto : Fotosearch
Anak sangat menyukai musik pula. Lihat, kan, betapa mudah ia mengikuti gerakan tepuk tangan Anda ketika Anda mengajarkan lagu “Pok Ame-Ame”? Atau, betapa cepat ia menggoyangkan tubuh begitu mendengar suara musik dari televisi, dan Anda menyemangatinya berjoget. Ya, Ma, seni ternyata bukan soal berbakat atau tidak berbakat. Menurut Lisa Tanti, pemilik Art Nouveau, seni sebenarnya sudah menjadi bagian proses tumbuh dan kembang anak. Beberapa anak memang diberi kelebihan berupa bakat seni, tetapi bakat pun harus dikembangkan. Jika tidak, anak tidak akan mendapatkan manfaat dari bakatnya.
“Anak yang berbakat melukis, jika tidak dikembangkan atau diarahkan, maka gambarnya hanya akan begitu-begitu saja. Ia tidak akan kreatif menciptakan gambar yang baru,” kata Lisa. Sedangkan pada anak yang tidak memiliki bakat, namun rutin dilatih, hasil gambarnya mungkin tidak terlalu spektakuler, seperti Affandi atau Van Gogh, tetapi ia kreatif menciptakan bentuk-bentuk gambar yang baru.
Meski seni melekat pada setiap orang sejak lahir, banyak faktor yang akhirnya membuat seseorang ‘putus ikatan’ dengan seni. Misalnya, pada orang-orang yang kerap mengaku tak bisa menggambar, bahkan sebuah gambar sederhana sekalipun. Kenapa? Bisa jadi faktor orang tua dan lingkungan (sekolah) yang memang tak pernah mendukung atau menganggap penting perkembangan seni. Orang tua sering kali merasa lebih penting memacu kemampuan matematis anak dibandingkan keahlian seninya. Di rumah pun, orang tua kerap melarang begitu anak mulai mencoret-coret tembok dengan pensil atau spidol. Ditambah lagi dengan proporsi pelajaran seni di sekolah yang sangat sedikit dan tak menstimulasi anak.
Foto : Fotosearch