Anak Tak Suka Pelajaran Matematika, Ini Penyebabnya!
Tentang matematika sebagai bakat, seorang Papa bernama Antono, bercerita bahwa anaknya, Kyan (8) pernah ikut tes olimpiade matematika di usia belia. Untuk ukuran anak seusia Kyan yang duduk di kelas 3, kemampuannya setara dengan anak kelas 6 SD. Betulkah Kyan jago matematika karena ikut les? Menurut Antono,“Sebelum Kyan ikut les, dia sudah bakat matematika. Ceritanya, sewaktu masih di TK, Kyan cepat sekali belajar matematika dasar. “Guru TK-nya waktu itu menyarankan Kyan untuk ikut les Kumon.
Mengikuti saran guru, setelah masuk Kumon, perkembangannya makin pesat. Kyan tembus tes Klinik Pendidikan Matematika (KPM), lalu ikut kursus training center di KPM itu,” ujar Antono, yang setiap harinya rutin memberi Kyan sejumlah soal yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu. Antono menambahkan, dengan anak keduanya Kei, ia memberi perlakuan seperti Kyan, memberi drill matematika setiap hari, akan tetapi, ternyata cara tersebut tidak berhasil. “Memang kuncinya harus karena anaknya suka. Pada adik Kyan, karena dia tidak suka matematika, dia jadi kepayahan,” tutur Antono.
Anak seperti Kyan bisa dibilang langka di Indonesia. Ini buktinya. Anda mungkin sudah pernah mendengar tentang peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) yang diadakan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains dalam bentuk tes yang diberikan kepada siswa berusia 15 tahun. Di tahun 2013, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara. Tahun 2015, peringkat Indonesia malah turun jadi 69 dari 76 negara. Padahal, 5 peringkat teratas ditempati oleh negara-negara Asia, yakni, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Taiwan. Ironis!
Fakta ini menjelaskan, kenapa kita -dan mayoritas generasi kita- hingga sekarang ke anak-anak kita, sulit ‘berdamai’ dengan matematika, bahkan cenderung fobia. Mengenai hal ini, pengamat pendidikan, Weilin Han, berpendapat, hal ini disebabkan karena masih ada kekeliruan cara mengajar matematika, anak tidak dikenalkan pada konsep dari awal. “Ketika mengenalkan matematika, anak langsung dikenalkan dengan simbol bilangan. Tidak diajarkan konsep yang konkret,” ujar Weilin, yang juga sering menjadi pembicara training untuk para pendidik serta konsultan pendidikan.
Konsep dasar ini, menurut Weilin, penting karena nantinya konsep bilangan itu akan terbawa terus. “Setiap operasi dalam matematika, nanti akan ketemu dengan pengurangan, penjumlahan, perkalian, dan pembagian. Itulah kenapa konsep angka dalam benda yang konkret harus kuat.” Pendapat Weilin ini sejalan dengan pendapat yang diungkap Jo Boaler, profesor pendidikan matematika dari Universitas Stanford dan pendiri Youcubed, aplikasi belajar matematika. Menurutnya, ‘kegagalan’ konsep pengajaran matematika ini juga terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Pelajaran Matematika mendapat image yang menakutkan di mata para siswa. Ia membandingkan, ketika seorang anak belajar bahasa, untuk bisa memahami sebuah karya sastra, baik itu novel maupun puisi, seseorang harus menghapal banyak kata-kata. “Tapi, toh, guru bahasa kita tidak mengajarkan bahasa dengan cara menyuruh kita menghapal dan menyodorkan soal-soal yang harus dikerjakan dalam waktu yang ditentukan? Seharusnya pengajaran matematika juga diperlakukan seperti itu,” tuturnya, dalam tulisannya berjudul Fluency Without Fear: Research Evidence on the Best Ways to Learn Math Facts di www.Youcubed.org.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa matematika ada dalam segala segi kehidupan kita. Weilin memberi contoh, “Ketika kita bicara sejarah, misalnya, Belanda menjajah kita selama 350 tahun, di situ kita bicara angka. Berapa lama Soekarno memimpin? Kita bicara soal uang, fisika, di situ ada matematika,” tuturnya. Bahkan dalam ilmu sosial, kita akan menemukan data-data statistik matematika untuk bisa memecahkan masalah sosial. “Ketika konsep dasar tidak kuat, bisa saja anak pintar matematika dengan cara menghapal dan latihan drill, tapi lantas apakah dia bisa menerapkannya dalam pemahaman ilmu terapan. Bukankah tujuan sebuah ilmu adalah mengubah perilaku. Kita tidak hanya mengharapkan anak kita menjadi robot yang pintar, tapi kita harus ingat, tujuannya mencerdaskan bangsa,” kritik Weilin. (foto: 123rf)