Mengenal Emosi Bayi
”Saya punya dua anak, tetapi keduanya amat berbeda,”kata Trias Wulandari, mama yang tinggal di Cibubur. Si sulung, Naya (6), sejak bayi selalu ceria. Sedangkan adiknya, Naren (4), agak moody. ”Mendengar suara berisik sedikit saja, dia bisa menjerit protes. Apa sudah ‘dari sananya’, ya?” kata Trias.
Menurut Lise Eliot, penulis buku What’s Going on in There? - How the Brain and
Mind Develop in the First Five Years of Life, sikap ceria bukanlah bawaan lahir, melainkan mood yang bisa berubah sewaktu-waktu. Hanya saja, temperamen alami bayi—apakah cenderung optimistis atau pesimistis, pemalu atau pemberani, memang bisa memengaruhi kemampuannya mengatur mood kelak.
Meski para peneliti tidak bisa membuktikan adanya simpul saraf ‘bahagia’ atau ‘moody’ pada otak seseorang, sejumlah penelitian menyatakan temperamen
seseorang—yaitu emosi dasar dan gaya bersosialisasinya, sudah terbentuk sejak lahir.
Jika bayi cenderung gampang gelisah, apakah nantinya akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak bahagia? “Sama sekali tidak!” kata Eliot. ”Selain bakat, jangan lupa bahwa pengalaman dan pola asuh juga besar peranannya dalam membentuk diri seseorang.
Pembawaan lahir anak tidak bersifat permanen. Dalam proses tumbuh kembang kelak, pengalaman akan memodifikasi temperamen dasarnya, untuk membentuk kepribadian,” katanya lagi.
Menurut para ahli, kepribadian anak tercermin pada aktivitas otak bagian depan. Emosi yang baik—seperti perasaan bahagia, tampak pada korteks otak depan sebelah kiri. Sedangkan, emosi buruk—seperti perasaan cemas, gelisah, dll, tampak pada korteks otak sebelah kanan.
Orang-orang yang pembawaannya selalu happy biasanya memiliki aktivitas otak depan sebelah kiri yang lebih aktif dibandingkan sisi kanannya. Dan asal Mama tahu, otak bagian depan ini akan terus berkembang sampai anak berada di akhir masa remajanya. Jadi, masih banyak waktu untuk membentuk kepribadian anak!