Hasrat suami (yang tak dia ungkapkan...)
“Tolong dong, lebih agresif di tempat tidur…”
Masalahnya begini. Sebagai papa, kami tahu seks seringkali terasa sebagai salah satu kewajiban di antara daftar tugas kalian sebagai istri sekaligus mama. Dan karena kami juga tahu ada banyak sekali tugas dalam daftar itu (banyak di antaranya yang semaksimal mungkin berusaha kami hindari), kami jadi sering melemparkan banyak sinyal seksual karena tahu sebagian besar di antaranya tidak akan tepat sasaran.
Sayangnya, setelah beberapa waktu semua ‘lemparan’ itu mulai bikin capek. Masa kami jadi pihak yang harus selalu memulai? Lama-lama itu juga mulai terasa sebagai tanggung jawab bagi kami. Padahal, hal terakhir yang kami butuhkan adalah lebih banyak lagi tanggung jawab.
Mungkin sudah bawaan papa untuk seringkali merasa tegang, tapi kami tak bisa memandang mata anak-anak tanpa membayangkan biaya sekolah, liburan kenaikan kelas, perjalanan ke luar negeri, dan Picasso cilik yang akan tumbuh menjadi seorang seniman penuh ambisi. Tekanan dan tanggung jawab jangka panjang itu bikin kami terjaga semalaman, dan akhirnya berpikir tentang seks (karena toh, kebetulan kami masih bangun).
Jadi, kami akan sangat senang jika kalian mengejutkan kami dengan mengambil inisiatif lebih dulu. Bersikaplah nakal, bicara yang 'menjurus', ceritakan fantasi rahasia kalian. Katakan kalian kemarin malam ‘mimpi erotis’. Itu pasti berhasil!
“Aku ingin pelukan.”
Setelah sekarang ada manusia lain yang juga bersaing memperebutkan waktu dan perhatian kalian, para pria ini rindu akan hubungan fisik dan emosional meski untuk sekadar meringkuk manja berduaan. Tentu saja, umumnya kami lebih suka berhubungan seks, baru kemudian berpelukan mesra. Bagi beberapa pria, berpelukan mesra itu menyenangkan karena memberikan sedikit harapan bahwa kalian mau bercinta lagi sebagai putaran kedua (ya, meski kita tahu besok kita harus bangun pagi).
Seringkali, menjadi papa terasa seperti interupsi panjang yang terus menerus, khususnya ketika petang sudah hampir usai, dan akhirnya kita berbaring di ranjang, hanya untuk berurusan dengan radio monitor bayi yang tiba-tiba berbunyi, suara merengek minta minum, dan macam-macam lagi. Rasanya ada saja yang mengganggu! Itulah mengapa pelukan mesra dan hangat bisa membantu, ketika akhirnya kita bisa juga istirahat. Bahkan tanpa hubungan seks sekalipun.
“Aku bosan dengan malam kencan.”
Salah satu hal terberat yang harus dihadapi para papa adalah perasaan rutinitas yang muncul seiring dengan status sebagai orangtua. Dulu, kami masih muda dan bebas, lepas tanpa beban di dunia ini. (Ehm, kami lebih suka mengenang masa muda seperti itu.) Sekarang semuanya terjadwal, semua terencana dan terus berulang, sampai malam kencan pun bahkan mulai bisa ditebak dan penuh tekanan.
Pergi makan malam di luar dengan kalian dua tahun sekali (eh, maksud kami, dua minggu sekali) semestinya bisa menjadi malam yang menyenangkan untuk melarikan diri dari rutinitas. Tapi, seringkali justru berakhir sama. Entah itu malah merasa khawatir karena buang-buang duit yang semestinya bisa dita-bung untuk biaya kuliah anak-anak, atau malah tak tenang karena khawatir akan keadaan anak-anak di rumah. Seringkali kami juga harus mendengarkan kalian mengutarakan rasa stres akibat ulah anak-anak. Alhasil, malam kencan jadi begitu mengecewakan buat kami.
Sebaliknya, kami sangat menunggu-nunggu sesuatu yang lebih spontan. Pergi kencan siang: meski harus kabur dari kantor, atau mengantar anak-anak sama-sama ke sekolah. Atau, pergi nonton film jam 1 siang di mana penonton lain sangat sedikit. Kalau kencan siang tidak memungkinkan, tak apalah kencan malam, tapi kali ini jangan merencanakan apa- pun—pokoknya keluar rumah dan ikuti ke mana pun kaki melangkah.
“Aku ingin waktu lebih banyak bersama teman-teman.”
Meski kalian sahabat terdekat kami, ibu dari anak-anak yang manis, dan cinta sejati kami, Jumat malam ini kami benar-benar ingin 'kongkow-kongkow' dengan teman-teman kami di masa SMA dulu.
Tolong jangan bikin kami merasa lebih bersalah lagi, dong. Kita berdua tahu kan, susah untuk cari waktu pergi bareng dan melakukan sesuatu bersama. Kita tahu betapa inginnya kita melewatkan waktu bersama yang berkualitas (maksudnya, berhubungan seks). Kami juga tahu kami pernah berjanji mengajakmu nonton konser. Tapi, sebesar apapun cinta kami padamu, kamu, yah, kamu tetap bukan pria. Dan sekarang setelah kami jadi papa, kami butuh sedikit rileks bersama teman-teman dekat kami.
Berpisah sebentar bikin hati jadi lebih sayang, lho. Khususnya ketika kami bisa ngopi bareng, kata-kataan, memanggil teman dengan julukan yang menurutmu tidak sopan, dan nekat melontarkan lelucon-lelucon bodoh yang mungkin bikin kalian malu kalau mendengarnya. Kalian tahu kan, orang bilang dalam diri setiap pria dewasa, terdapat jiwa anak-anak. Sebenarnya ia adalah remaja bodoh bertubuh besar, dan kalau kalian membebaskannya untuk sesekali kongkow dengan teman-temannya, ia akan pulang menjadi pria dewasa yang lebih baik.
“Kamu terlihat seksi.”
Ini pasti kamu tahu, kan? Masa sih, tidak tahu? Mungkin kamu akan menganggap ini gila, mana mungkin kami menganggapmu seksi, sementara kamu merasa kelebihan berat badan, dan sudah bertahun-tahun tak sempat pedicure, alis mata belum dicabut, pakaian kena noda muntahan si kecil, atau bahkan sore itu belum sempat mandi? Kami tahu, kok. Tapi tahu nggak, sih? Kami masih merasa kamu seksi.
Dirimu memang tampak lebih menarik setelah berdandan untuk pesta makan malam yang sebetulnya sama-sama tidak ingin kita datangi. Baju yang kamu kenakan juga bagus sekali, lho! Biarpun belinya dengan harga diskon yang sangat murah (masa, sih?). Tapi saat itu, ketika melihatmu membungkukkan badan untuk menaruh pakaian kotor si kecil di keranjang cucian, bokongmu kelihatan bagus, deh! Kamu benar-benar seksi. Anggap saja ini gila, tapi hei, ada sosok pria biasa dalam diri ayah anak-anakmu ini. Kami masih akan tetap memikirkan soal seks setidaknya 100 kali sehari, dan tidak ada yang bikin kami terpikir tentang hal itu selain dirimu.
“Aku terangsang karena kaulah ibu anak-anakku.”
Lebih dari segalanya, seks adalah soal kepercayaan diri, dan tidak ada yang lebih membuat kami bangga selain memandangmu dengan anak-anak, dan berpikir, “Gila, aku benar-benar bisa melakukannya! Aku berhasil! Sekarang aku seorang suami. Aku jadi ayah.” Aku yakin rasanya seperti baru kemarin kami pria-pria ini, tidur di atas seprei yang acak-acakan, dan mendengar ibu kami mengeluh soal pa-kaian kami yang luar biasa dekil. Tapi, kini kami punya istri yang akan mengomel soal pakaian dalam kotor kami. Kami berhasil! Sejujurnya, kami tidak yakin hal ini akan terjadi.
Kami bisa saja berakhir seperti sobat kami yang tetap men-jomblo, atau mungkin punya koleksi DVD yang bikin orang lain iri, tapi tidak memilikimu. Dirimu mengubah kami dari anak-anak menjadi pria sejati. Rasa mengayomi terhadapmu dan anak-anak adalah sumber kepercayaan seksual kami. Kita vs. dunia, dan sekadar untuk tahu bahwa ada 'kita' sudah membuat gairah kami langsung menggebu. Jadi, ayo kemarilah, beri kami pelukan.
Nah, sekarang setelah Anda tahu apa yang ada di kepala suami, bantulah ia memulai percakapan. Sementara itu, rasanya saya perlu memastikan deh, istri saya juga tahu semua ini. ?
PAR 0208